Sudah 66 tahun Indonesia bebas dari hegemoni kaum kolonial semenjak di proklamirkannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada tahun 1945 oleh para pendiri bangsa ini (the faunding father). Usia 66 tahun, jika diibaratkan kedalam umur manusia maka usia tersebut merupakan fase terakhir dalam kehidupan setelah melewati beberapa fase secara umum dalam kehidupan biologis manusia yaitu fase anak-anak, fase remaja, fase muda, fase dewasa dan fase tua. Setiap fase akan mempunyai cirri yang berbeda, fase tua biasanya ditandai dengan kepikunan dan kelemahan secara fisik. Namun perkembangan fase umur manusia tidaklah sama dengan fase perkembangan umur sebuah bangsa. Usia kemerdekaan yang sudah mencapai 66 tahun merupakan usia yang cukup lama dan tentu mempunyai banyak pengalaman serta dinamika dalam mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Seperti halnya bangsa Indonesia telah melewati beberapa fase atau zaman dalam mengisi kemerdekaannya sampai sekarang, diantaranya zaman orde lama (1945-1966), orde baru (1966-1998) dan orde reformasi (1998-sekarang) masing – masing periode menunjukan permasalahan dan cirri tersendiri dalam pembangunan mengsi kemerdekaan termasuk kedalamnya pembangunan di sektor pertanian. Pembangunan pertanian tentu tidak terlapas dari kegiatan mengisi kemerdekaan itu sendiri dalam hal memenuhi kebutuhan pangan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan pembangunan pertanian Indonesia mengalami dinamika baik sebelum maupun pasca kemerdekaan. Dua kata yang tidak asing lagi ditelinga anak bangsa ini bahwa Indonesia adalah “Negara Agraris”, sering orang bertanya apakah yang paling khas dengan Indonesia? Maka orang akan mengatakan: alamnya.
Tuhan memamng telah menganugerahkan alam yang luarbiasa di negeri pertiwini ini, baik itu tanahnya, lautnya, dan juga cuacanya. Indonesia sebagai negara agraris dengan kekayaan alam melimpah menjadi daya tarik bagi kaum pejajah untuk merampas kekayaan alam negeri ini. Tengok saja misalnya pulau Sumatera yang dulu dikenal dengan Andalas itu, kaya dengan rempah-rempah dan sangat cocok dengan tumbuhan perkebunan dan sekarang pulau itu merupakan sentra sawit dan karet, atau Pulau Jawa sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamparan sawah bak bentangan permadani yang tak bertepi sehingga tak jarang pulau Jawa dijuluki pulau padi. Maka tak heran kiranya motif bangsa kolonial mulai dari Portugis, Inggeris, Belanda dan Jepang menjajah bangsa Indonesia untuk mendapatkan kekayaan alamnya (gospel) terutama hasil rempah-rempah dan pertanian disamping untuk mencari kekuasaan (glory) dan pengembangan agama (gospel).
Merefleksi perjalanan pemabgunan pertanian
Sejenak untuk kembali merefleksi perjuangan kemerdekaan dan pembangunan pertanian sebelum dan pasca kemerdekaan yang syarat dengan permasalahannya, tidak hanya sekedar untuk bernostalgia namun untuk dijadikan pedoman pembangunan pertanian dimasa yang akan datang. Petani yang notabebe pahlawan pangan memang menjadi objek ekploitasi penguasa sejak zaman kerajaan, penjajahan Belanda, hingga penjajahan Jepang, pada masa raja-raja petani diwajibkan menyetor setengah dari panen hasil bumi kepada kerajaan. Pada masa kerjaan raja-raja dianggap sebagai pemilik tanah diwilayah kerajaannya. Para petani juga harus bersedia memberikan tenaganya kapan saja jika diperluka oleh sang raja tanpa imbalan apa-apa.
Kondisi tersebut terus berlanjut, ketika Belanda datang menjajah bumi Nusantara, pada awalnya kolonial Belanda mengekploitasi para petani melalui tangan-tangan para bangsawan, kemudian semasa Thomas Stanfor Raffles (1811-1816), diberlakukanlah system pajak tanah, sewa tanah dan system tanam paksa (Culturstelsel) yang berlansung dalam kurun waktu 1830-1870. Tanam paksa dilakukan dengan latar belakang untuk menyelamatkan keuangan Belanda, karena pada tahun 1830 hampir mengalami kesulitan yang serius untuk menghadapi perang Diponegoro selam lima tahun (1825-1830). Namun Belanda beralasan sistem tanam paksa dilakuakn berangkat dari sebuah asumsi bahwa Desa-desa di Jawa telah berutang sewa tanah kepada Belanda sebesar 40 persen. Petani-petani di Jawa diwajibkan menanam 20 persen lahan pertaniannya untuk ditanami tanaman-tanaman komoditi ekspor terutama ke Eropa seperti tebu, kopi, nila dan tembakau. Tapi peraturan itu tidak brlaku dengan semestinya, sebenarnya bukan 40 persen yang dibayar petani bahkan seluruh hasil tani diserahkan kepada kolonial Belanda, bahkan petani diwajibkan bekerja tanpa istirahat. Begitulah kondisi petani saat itu tapi apa mau dibuat semua harus dilakukan demi untuk menyambung hidup anak dan istri nya. Sitem tanam paksa merupakan era yang paling kejam selama pemerintahan Kolonial Hindia Belanda berkuasa di Tanah Air.
Sejak diberlakukannya tanaman pakasa, semua hasil pertanian dari pulau Jawa menjadi komoditi penting di pasar internasional terutama di Eropa. Oleh sebab itu terjadi perluasan dan pembukaan lahan secara besar-besaran untuk dijadikan tanaman perkebunan dan pertanian yang dilakukan oleh pihak swasta Belanda. Pada tahun 1860-an, parlemen Belanda bergejolak. Perwakilan kelompok yang bermodal kuat menuntut digantikannya system monopoli pemerintah dan system tanam paksa diganti dengan system persaingan bebas sesuai dengan konsep kapiatalisme liberal yang saat itu berkembang di Eropa. Seirring desakan tersebut dan telah membaiknya perekonomian Negara Belanda, maka Culturstelsel mulai dihapuskan secara bertahap. Untuk mengakomodasi kelompok bermodal besar di Belanda serta munculnya pergejolakan petani di Tanah air karena sudah demikian tertekan dan menderita, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Sehingga tahun 1870 tersebut dapat disebut sebagai tonggak bersejarah yang menjadi dasar utama mulai berkembangnya perkebunan swasta ditanah air. Era kebebasan ini tidak disia-siakan oleh etnis Tianghoa untuk masuk ke Indonesia, karena mereka yakin untuk menangani perdagangan perlu orang piawai yang memproduksi dan memasarkannya. Awalnya etnis thianghoa masuk dengan menjadi tukang krdedit, brjualan minyak hingga ke Desa-desa di pulau jawa dan ada yang berkerja diperkebunan sebagai penjual bahan kelontong.
Memasuki abad ke-20 merupakan era “politik etis”. Kemiskinan disebagian besar nusantara yang sebagian besar diderita oleh petani menjadi bahan pembicaraan di negeri Belanda. Pada saat itulah mulai diperkenalkan pertanian modern dengan munculnya lembaga keuangan ditingkat desa sebagai upaya memerangi lintah darat, masa panceklik dan sebagainya. Dimasa penjajahan Jepang petani kembali di ekploitasi, yang mana Jepang kembali menerapan system pajak tanah dan petani wajib memenuhi pangan tentara Dai Nipon Jepang tidak hanya itu Jepang menerapkan system kerja paksa yang dikenal dengan romusha, yang mana sebagian besar dari romusha tersebut adalah kaum tani. Nestapa sejarah kaum tani di negeri ini sebelum kemerdekaan sangat memperihatinkan dan penuh dengan penindasan, sehingga tak jarang terjadi pemberontakan dimana-dimana.
Masa penjajahan berakhir, kemerdekaan pun datang (17 Agustus 1945) dengan diploklamirkannya Indonesia sebagai negara yang berdaulat, yang menjadi harapan baru untuk memulai pembangunan pertanian. Namun harapan itu belumlah terwujud dengan baik karena pada masa awal kemerdekaan dan revolusi kemerdekaan (1945-1950) tenaga dan pikiran terporsir terhadap kegiatan untuk mempertahankan kemerdekaan serta mengusir penjajah Belanda yang masih ingin kembali berkuasa di bumi pertiwi ini. Setelah revolusi kemerdekaan pada tahun 1951, pemerintah memulai program pembangunan ekonomi yang dinamakan “Rencana Urgensi Pembangunan Perekonomian”, disusul “Rencanan Juanda” (1955) dan “Rencanan Delapan Tahun Pembangunan Nasional Smesta Berencana” pada masa pemerintahan Demokrasi terpimpin di bawah pimpinan presiden Soekarno.
Namun semua harapan pembangunan ekonomi termasuk sektor pertanian itu belumlah mencapai tujuannya karena kondisi politik dan keamanan yang tidak stabil ditandai dengan eforia partai politik mejelang pemilihan umum (pemilu) 1955, sidang konstituante yang penuh perdebatan dan beda pendapat serta kabinet yang berganti-ganti. Dikelurkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang bertujuan untuk meredam politik aliran dengan pola yang lebih otokratik, namun juga belum mampu memberikan iklim yang baik bagi pembangunan perekonomian termasuk sektor pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional terabaikan. Walapun demikian, ada tonggak penting pembangunan pertanian yaitu dengan diundangkannya UU No. 5 /1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dapat menjamin kepemilikan atau hak atas tanah dan penggunaanya untuk kesejahteraan masyarakat. Ketentuan Undang-undang tersebut bermaksud menghapus hak-hak yang masih bersifat feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan ini.
Masa Orde Baru sektor pertanian baru menjadi fokus pembangunan ekonomi nasional, berbagai program mulai digulirkan seperti panca usaha tani, ektensifikasi, intensifikasi, program inmas-bimas, yang bertujuan membangun pertanian secara umum karena pemerintah sadar sebagian besar penduduk hidup dipedesaan dan bermata pencarian sebagai petani. Maka pembangunan ekonomi lebih diutamakan pada sektor pertanian, sehingga mengantarkan bangsa Indonesia untuk mampu swasembada beras pada atahun 1984. Namun swasembada beras tidak berlansung lama karena waktu itu lebih mementingkan produksi semata tanpa pengembangan pada sector hilirnya, sedangkan petani sebagai produsen tidak meningkat kesejahteraannya.
Untuk kembali membangkitkan pertanian nasional maka pada masa revormasi tepatnya pada tanggal 5 Juli 2005 Presiden SBY mencanangkan program Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Dengan adanya RPPK dapat untuk kembali memfunsikan semua potensi alam bangsa ini terutama pada sektor pertanian. Dengan harapa akan dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masayarakat serta mengurangi angka kemiskinan. Hingga pada tahun 2008 bangsa ini kemabali mengukir prestasi dengan berhasilnya seasembada beras kedua kalinya. Namun permasalahannya apakah petani yang merupakan pahlawan pangan tersebut sudah menikmati hasilnya.
Permasalahan Pertanian dan Pembangunan Secara Holistik
Sejarah panjang pembangunan pertanian tentu telah memberikan gambaran bagi seluruh anak bangsa bagaimana penderitaan para petani yang menjadi objek eksploitasi kekuasaan. Pasang surut pembangunan pertanian tentu menjadi pengalaman yang berharga untuk dijadikan pedoman, arah dan pandangan untuk menentukan format pembangunan pertanian kedepan. Berbagai masalah pertanian adalah diantaranya, kepemilikan lahan yang masih sangat kecil kurang dari 0, 5 Ha. Dalam skala usaha kepemilikan lahan sebesar itu belumlah menguntungkan bagi petani. Disamping lahan yang terbatas, pada umunya petani terutama petani padi di Pulau Jawa adalah petani penggarap dan buruh tani. Lahan pertanian juga masih tersegmen-segemen atau berada pada wilayah yang berjauhan sehingga sulit dalam masalah distribusi dan pemasaran.
Kegiatan pertanian lebih banyak diusahan kaum tua dan kurang diminati lagi bagi kaum muda yang lebih cenderung bkerja disektor lain seperti menjadi buruh tambang, buruh pabrik atau merantau ke perkotaan dengan bekerja disektor jasa dan kegiatan lain. Tidak menariknya kegiatan pertanian bagi kaum muda bisa jadi disebabkan oleh sektor pertanian dianggap tidak menjajikan lagi bagi kepastian ekonomi.
Pembangunan pertanian merupakan pekerjaan yang mulia karena sector ini berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia dan hewan, tujuan pemabangunan pertanian adalah sebagai penyedia pangan (food) dan (feed). Seiring dengnan perkembangan ilmu dan teknologi sector pertanian menjadi penyedia energy, disamping untuk meningkatkan pendapatan petani, penyerap tenaga kerja, mensupply kebutuhan industry serta sebagai sumber devisa. Berangkat dari hal ini pulalah pemabgunan pertanian harus dipandang secara holistic dasn bukan tanggung jawab kementerian pertanian semata tapi adalah merupakan tanggung jawab bersama. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Revitalisasi Pertanian dalam Dialog Peradaban yang mencoba melihat posisi pertanian dari sudut pandang yang berbeda secara ilmu pengetahuan, social dan budaya pertanian adalah tanggung jawab bersama. Maka intergari dari berbagai instansi terkait perlu lebih ditingkatkan dalam pemangunan pertanian kedepan karena bernajak dari sejarah panjang ini sudah saatnya kita betul-betl menjadi bangsa yang berdaulat, berdaulat pangan dan petani yang berdaulat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar