I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sebagai
dampak dari perdagangan bebas adalah tebukanya kegiatan bisnis di berbagai
negara yang berbeda. Tidak adal lagi batas negara dalam perdagangan
internasional (the boderless world),
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mendukung terciptanya bisnis
internasional secara cepat. Timbulnya bisnis internasional/ pemasran
internasional pada awalnya karena adanya kebutuhan suatu negara yang tidak bisa
dipenuhi oleh negara itu sendiri. Namun seriing dengan perkembangan zaman dan
perubahan gaya hidup manusia, telah merubah pola perdagang internasional
menjadi bisnis dalam artian mencari keuntungan diberbagai belahan dunia
manapun.
Perdagangan
internasional telah membagi kerja dunia, yang mana negara – negara maju sebagai
negara yang memproduksi produk industri sedangkan negara berkembang berperan
sebagai negara pemasok bahan baku untuk industri negara maju. Impilikasi lain
dari perdangan internasional ditandai dengan semakin berkembangnya perusahaan
multinasional atau MNC (Multi Nasional
Company) diberbagai bidang (manufacture, transportasi, telkomonikasi, food
processing, jasa, energy dll).
Globalisasi
perdagangan merupakan peluang dalam
mengembangkan usaha dan pemasaran bagi perusahaan yang mampu bersaing, namun
juga akan menjadi tantangan bagi perusahaan atau negara yang tidak mempunyai
daya saing tinggi. Berbagai perusahaan MNC telah mengembagkan sayapnya ke negara
– negara lain, selain itu membuat variansi – variansi dalam produknya atau pun
pelayanan serta manajemen perusahaan. Perdagangan global menuntut perusahaan
agar mampu berasing tidak hanya terpaku pada keunggulan komparativ saja tapi
harus mengedepankan keunggulan kompetitif.
Perkembangan
bisnis internasional yang memasuki lintas negara, tentu tidakalah terjadi
segampang yang dilihat, karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk
memulai bisnis internasional. Hal itu dikarenakan bisnis internasional akan
melibatkan manusia lintas negara yang tentu akan berbgaimacam pula corak prilaku,
budaya dan agamanya. Maka berkaitan dengan hal tersebut penulisan makalah ini
bertujuan untuk melihat berbagai prilaku, budaya tenaga kerja dan kepemimpinan
individu lintas negara dalam bisnis internasional yang berjudul “Perilaku Karyawan dan Kepemimpinan Dalam
Bisnis Internasional”.
1.2.
Permasalahan
Perbedaan
prilaku krayawan telah menjadi permasalahan tersendiri dalam pengembangan
bisnis internasional. Perbedaan budaya akan berpengaruh terhadap kinerja,
motivasi kerja dan kepemimpinan dalam perusahaan multinasional. Dengan
perbedaan budaya negra-negara tersebut perlu untuk melihat bagaimanan perilaku
krayawan dan kepemimpinan dalam bisnis internasional.
1.3.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisa ini adalah :
1. Melihat
bagaimana keanekaragaman prilaku karyawan dari berbagai negara dalam bisnis
internasional
2. Melihat
kepemimpinan dari manejer dalam bisnis internasional dari latra belakang
kribadian individu yang berbeda.
3. Membedakan
kenekargaman prilaku individu antar negara dalam bisnis internasional
1.4.
Ruang
Lingkup
Ruang
lingkup dari makalah ini adalah perlakau individu dalam bisnis internasional, peran
budaya dalam bisnis internasional, motivasi karyawan dalam
bekerja/berorganisasi dan kepemimpinan
dalam bisnis internasional.
II. PERILAKU KARYAWAN DAN KEPEMIMPINAN
DALAM
BISNIS INTERNASIONAL
2.1. Perilaku Individu Dalam Bisnis Internasional
Perilaku
invidu pada dasarnya dipengaruhi oleh budaya setempat atau lingkungan tempat
tinggal dari sesorang. Setiap negara mempunyai budaya tersendiri sehingga
berpengaruh terhadap kepribadian dari masyarakat suatu negara tersebut, dalam
bisnis intenasional tentu beragam budaya perlu menjadi perhatian karena akan
berkaitan dengan bagaimana untuk memulai sebuah bisnis, penetapan karyawan dan
prospek pemasarannya di negara tersebut. Berkaitan dengan hal itu beberapa hal
yang berkaitan dengan perilaku individu dalam bisnis internasional sebagai
berikut :
2.1.1. Perbedaan Keperibadian dalam Berbagai Budaya
Berbagai
budaya telah membentuk perilaku individu-individunya dalam bergaul, bekerja dan
bersikap atau kepribadiannya yang berbeda dengan individu lain. Personality merupakan atribut psikologis
mendasar yang membedakan seseorang dengan orang lain. Banyak psikolog yang
mengatakan atribut kepribadian dipengaruhi oleh faktor keturunan (nuture) dan lingkungan (nature). Faktor lingkungan merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap kepribadian seseorang misalnya
lingkungan temapat tinggal atau wilayah dimana mereka dibesarkan. Dalam hal ini
manajer internasional harus mengetahui perbedaan lingkungan atau budaya suatu
negara. Namun, perlu diketahui bahwa
perbedaan setiap individu juga ada dalam kelompok budaya manapun. Artinya
budaya menimbulkan tendensi prilaku tertentu dan prilaku individu dalam budaya
manapun juga berbeda-beda secara signifikan (Griffin dan Pustay, 2005).
Akhir-akhir
ini para pakar psikologi telah mengindentifikasi cirri-ciri kepribadian yang
fundamental bagi organisasi termasuk dalam bisnis internasional yang akan
melibatkan tenaga kerja dari berbagai latar belakang bangsa, agama dan budaya
yang berbeda. Beberapa ciri-ciri tersebur antara lain adalah :
Pertama,
Agreeablesness (kemampuan
bersosialisasi) yaitu menunjukan sifat bagaimana seseorang bergaul secara baik
dengan orang lain seperti bersikap lembut, memahami, kooperatif sehingga mendapatkan
umpan balik yang positif dari lingkungannya tersebut. Kedua, Conscientiousness (sifat berhati-hati)
hal ini akan menggambarkan kepribadian
seseorang apakah ia adalah orang yang teratur, terorganisisr, memiliki disiplin
tinggi, teliti dan bertanggung jawab dalam aktivitasnya. Ciri juga dapat mengukur apakah seseorang
tersebut terorganisir, sistematis, bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
Ataukah sebaliknya tidak disiplin, ceroboh, dan tidak bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya. Ketiga, emotional
stability (kestabilan emosi) yaitu bagaimana seseorang untuk mengendalikan
emosinya, orang yang emosinya stabil maka ia akan bersifat tenang, seimbang,
tabah dan merasa aman, sebaliknya orang yang emosinya tidak stabil akan mudah
gelisah, merasa tidak aman, reaktif, dan memiliki mood yang mudah berubah-ubah. Keempat, Extroversion (eskstrovert) adalah tingkat kenyamanan seseorang
dalam berhubungan dengan orang lain yang menunjukan seseorang mudah bergaul,
komunikatif, tegas dan sebaliknya ada orang yang tidak mudah bergaul dan lebih
cederung introvert. Kelima, Openness (keterbukaan)
menggambarkan sikap bagaimana seseorang menerima pendapat orang lain,
mendengarkan orang lain dan menjalankan saran orang tersebut, sebliknya adalah
sikap egois tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.
Negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat telah menjadikan ciri-ciri kepribadian tersebut dalam
menempatkan seseorang disebuah posisi pekerjaan. Conscientiousness dan kestabilan emosi yang tinggi kemungkinan
mereka akan bekerja lebih baik daripada orang yang kestabilan emosinya rendah, Extroversion bisa menjadi alat yang
bermanfaat untuk memprediksikan seseorang untuk menjadi manejer pemasaran
seperti orang China yang lebih komunikatif dalam pemasaran. Banyak manejer di
bisnis internasional yang menjadikan ciri kepribadian tersebut untuk penerimaan
tenaga kerja dalam perusahaan multy
nasional company.
2.1.2. Sikap Dalam Berbagai Budaya
Sikap merupakan dimensi lain dari invidu yang
berpengraruh terhadap kinerja organisasi terutama dalam organisasi bisnis yang
berorientasi provit. Sikap (attitude)
menunjukan bagaimana seseorang dapat mengekpresikan perasaannya. Adapun sikap
terhadap organisasi dapat dilihat sebgai berikut :
1) Kepuasan
Kerja
Kepuasan kerja adalah sikap yang mencerminkan
tingkat kepuasan atau pemenuhan seseorang atas pekerjaannya. Kepuasan seseorang
terhadap pekerjaannya ditentukan oleh faktor-faktor personal seperti kebutuhan
dan aspirasi individu sedangkan faktor eksternal adalah organisasi seperti
hubungan dengan rekan kerja, atasan, kondisi kerja, kebijakan kerja dan
kompensasi. Karyawan yang merasa puas akan bekerja dengan rajin, semangat
tinggi, dan akan bertahan lama di organisasi sebaliknya kryawan yang tidak puas
akan menjadi malas, mudah stress, cebderung mencari pekerjaan lain dan tidak
tahan lama di organisasi. Dalam Griifin (2005) dikatakan perbedaan tingkat
kepuasan kerja antara orang Jepang dengan orang Amerika Serikat dari hasil
survey yang dilakukan terhadap 8.300 pekerja di 106 pabrik di Jepang dan Amerika
Serikat, seperti yang terlihat pada tabel berikut :
Pertanyaan Kepuasan Kerja
|
Rata-rata di Jepang
|
Rata-rata di AS
|
Scara keseluruhan,
seberapa puaskah anda dengan pekerjaan anda ?
(0 = tidak sama
sekali, 4 = sangat)
|
2,12*
|
2,95
|
Jika seseorang
teman baik anda mengatakan bahwa ia tertarik dengan pekerjaan anda di
perusahaan anda, apa yang akan anda katakana ?
0 = memberi saran
yang membuat ia tidak tertarik
1 = memberi saran yang membuat ia akan
mempertimbangkannya
2 = Merekomendasikan pekerjaan itu
|
0,91
|
1,52
|
Setelah mengetahui
pekerjaan anda sekarang, jika anda memutuskan sekali lagi apakah anda akan
memilih pekerjaan anda sekarang atau tidak, apakah keputusan anda?
0 = tidak akan
mengambil pekerjaan tersebut
1 = akan
mempertimbangkannya
2 = akan mengambil
pekerjaan tersebut
|
0,84
|
1,61
|
Sberapa banyak
pekerjaan anda sekarang sesuai dengan pekerjaan yang anda inginkan ketika
anda memutuskan pekerjaan tersebut ?
0 = tidak sesuai
dengan yang saya inginkan
1 = agak sesuai
2 = sesuai dengan
yang saya inginkan
|
0,43
|
1,20
|
*Perbedaan respon
rata-rata untuk setiap pertanyaan secara statistif cukup signifikan, yang
berarti perbedaan antara respon kryawan AS dan Jepang cukup besar sehingga
respon ini tidak muncul sebagai hasil yang kebetulan
|
Sumber : Diambil dari
J. R. Lincoln, Employee Work Attitudes and Manajement in the U.S. and Japan :
Evidence from a large comparative survey, (dikutip dari Griffin, 2005).
2) Komitmen
Terhadap Organisasi
Komitmen
merupakan sikap yang mencerminkan identifikasi dan loyalitas seseorang terhadap
organisasi. Komitmen merupakan kepribadian yang sangat penting dalam
organisasi. Suatu studi komparatif terhadap karyawan dari negara Barat, Asia
dan karyawan lokal yang bekerja di Arab Saudi menunjukkan bahwa ekspatriat dari
Asia memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
ekspatriat dari Barat dan Arab Saudi. Studi lain menunjukan bahwa karyawan dari
AS lebih komitmen terhadap organisasi sibandingka karyawan dari Jepang.
2.1.3. Persepsi Dalam Berbagai Budaya
Banyak defenisi tentang budaya, Stoner dan kawan-kawan
(1995) memberikan arti budaya sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku,
cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi anggota masyarakat
tertenteu. Krech (dalam Graves, 1986) mengemukakan bahwa budaya adalah sebagai
suatu pola semua susunan, baik material maupun perilaku yang sudah diadopsi
masyarakat sebagai suatu cara tradisional dalam memecahkan masalah-masalah para
anggotanya. Budaya didalamnya juga termasuk semua cara yang terorganisasi , kepercayaan,
norma, nilai-nilai budaya implicit, serta premis-premis yang mendasar dan
mengandung suatu perintah.
1) Stereotip
Persepsi
merupakan bagaimana seseorang menginterpretasikan atau mengungkapkan informasi
tentang lingkungannya setelah ia melihat, mendengar, merasakan sesuatu pada
individu tertentu. Dalam bisnis internasional persepsi menjadi sangat penting
untuk menjadi pertimbangan dalam pengembangan bisnis atau penempatan tenaga
kerja. Persepsi umum dalam bisnis internasional disebut dengan stereotype, yang terjadi ketika
seseorang membuat kesimpulan seseorang setelah melihat beberapa sifat orang
tersebut.
Berbagai
stereotipe terhadap negara telah menjadi pertimbangan bagi perusahaan Multy Nasional Company (MNC) untuk
meperluas bisnisnya baik secara lansung / Foregn
Direct Invesment (FDI) dan dalam hal penempatan tenaga kerja, walaupun
banyak yang tidak meyakini kebenaran dari stereotype tersebut. Beberapa contoh
stereotip tenaga kerja diberbagai negara, seperti orang Amerika Serikat
memiliki stereotype bahwa manejer Jepang bekerja sepanjang waktu, manejer Swess
sangat terorganisasi, dan manejer Perancis sangat elitis. Sedangkan stereotype
dari beberapa negara menyebutkan manejer Amerika Serikat lebih cenderung rakus.
2) Budaya
untuk bertahan hidup
Muljono (2006) menyebutkan budaya adalah strategi untuk
bertahan hidup dan menang, sehinnga diistilahkan dengan budaya tinggi.
Globalisasi perdagangan sedikit banyaknya telah berpengaruh terhadap budaya
suatu bangsa sperti gaya hidup, perubahan sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Dalam prespektif menghadapi
tantangan global terdapat dua cara yang
kontras yaitu : membenci/ memusuhi (xenofobia)
dan mencintai habis-habisan. Pendukung aliran pertama adalah pendukung seni
budaya tradisional yang menganggap sebagai budaya tinggi, sedangkan pendukung
kedua adalah mereka yang memperoleh pendidikan dan pemebelajaran dari barat dan
menjadikan semua yang dari Barat sebagai kiblat. Kedua pendapat diatas tidaklah
benar dan kesalahan persepsi itu perlu untuk dikoreksi, yang perlu disadari
bahwa budaya merupakan strategi untuk hidup dan maju berkembang (muiljono
2006). Persaingan dalam bisnis internasioanal tidak terlepas dari budaya suatu
bangsa yang akan berpengaruh terhadap prilaku dari individu-individunya.
Para ilmuan memetakan budaya atas budaya tinggi, bubaya
rendah, budaya maju dan budaya terbelakang. Perpaduan dari budaya tinggi – maju
atau maju – tinggi adalah budaya dimana produk budayanya mempunyai keunggulan
fungsi namun memiliki keindahan yang sulit ditnadingi. Produknya mempunyai tiga
cirri keunggulan : komparatif, kompetitif, dan distingtif. Seperti, Microsoft
Office, Intell, New Honda City, TV plasma dll. Sehingga dapat digambarkan peta
budaya bangsa-bangsa sebagai berikut :
Gambar
2
Peta
Budaya Bangsa-bangsa
|
|
Tinggi - Terbelakang
(rumit,
unggul secara komparatif)
|
Tinggi – Maju
(rumit, utilitas tinggi, keunggulan
kompetitif- komparatif)
|
||
Rendah – Terbelakang
(sederhana,
utilitas rendah)
|
Maju – Rendah
(utilitas,
fungsi, unggul secara komparatif)
|
Posisi Indonesia pada peta budaya masih berada pada
posisi budaya tinggi namun masih terbelakang ( kuadran 2). Singapura, Malaysia
dan India misalnya sudah mulai masuk ke kuadran 4. Sementara Amerika Serikat
dan Jepang dan hampir seluruh negara OECD masuk di kuadran 4
Gamabar 3
Kuadranisasi Budaya
Sumber : Muljono (2006)
Dalam era globalisasi (borderless world) yang ditandai dengan perdagangan bebas,
keunggulan budaya menjadi sangat penting terutama dalam melakukan bisnis
internasional. Transformasi budaya global tentu tidak dapat dihindari lagi yang
didasari oleh : keberadaan saling percaya dan kultur manajemen. Keunggulan
Amerika Serikat bukan karena keunggulan teknologi, uang, dan lain-lain. Tetapi
karena Amerika Serikat mempunyai social
capital yang disebut dengan trust.
Diyakini mana mungkin membangun kompetisi yang sehat tampa kejujuran. Tanpa
kejujuran tidak mungkin mengadakan kerjasama apalagi dalam skla bisnis
internasional.
Penelitian menunjukkan bahwa strategi, struktur dan
teknologi organisasi berangsur-angsur menjadi sama. Namun demikian, masih saja
terjadi perbedaan antara manusia- manusia dalam organisasi karena perbedaan
kultur. Dengan kata lain, kultur nasional masih terus akan menjadi kekuatan
yang tidak boleh diabaikan dalam menjelaskan sebagian besar peranan perilaku
organisasi (Child,1981).
2.1.4.
Proses
Keanekaragaman Kultur/ budaya
Untuk menganalisis variasi berbagai kultur, perlu
diidentifikasi enam dimensi kultur dasar, hubungan manusia dengan alam,
orientasi waktu, orientasi aktivitas, sifat manusia, fokus rasa tanggung jawab,
dan konsepsi tentang ruang dari berbagai latarabelakang budaya negara yang
berbeda.
a.
Hubungan Manusia dengan Alam
Di banyak negara Timur Tengah dan Asia Tenggara
(Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam), orang percaya bahwa hidup ini
adalah karunia Tuhan sehingga apapun yang terjadi mereka menganggap sebagai kehendak
Tuhan. Sebaliknya, orang Amerika dan Kanada percaya dan merasa dapat mengontrol
alam ini. Umpamanya, mereka tidak ragu-ragu untuk menghabiskan bermilyar dolar
setiap tahunnya untuk penelitian-penelitian mencari hal-hal baru.
Adanya perspektif-perspektif yang berbeda tentang alam
ini akan berpengaruh pada praktik-praktik organisasi. Di negara-negara yang
merasa di bawah pengaruh kekuasaan alam karena Tuhan, penetapan tujuan atau
target organisasi bila tercapai atau tidaknya target tersebut di luar kekuasaan
kita. Di negara-negara yang mencari keharmonisan dengan alam, target-target
organisasi lebih sering ditetapkan dan dilaksanakan. Kalaupun terjadi
penyimpangan, hukuman untuk kegagalan mencapai target biasanya tidak berat.
Tetapi, di negara-negara yang merasa mampu menguasai alam, target organisasi
selalu ditetapkan secara luas dan konsekuen. Target dilaksanakan dengan harapan
kuat untuk bisa mencapainya sehingga hukuman untuk kegagalan juga relatif
berat, umpamanya pencopotan presiden direktur perusahaan multinasional yang
dianggap gagal.
b.
Orientasi
Waktu
Masyarakat di berbagai negara menilai waktu ini secara
berbeda-beda. Kultur Barat menganggap waktu itu sangat berharga sebagai sumber
langka. "Waktu adalah uang" sering diungkapkan sebagai keinginan
untuk menggunakan secara efisien. Orang-orang Amerika lebih memfokuskan diri
pada usaha-usaha masa sekarang dan masa akan datang sehingga terlihat pada
sistem penilaian prestasi kerja karyawan
(performance appraisals) yang
dilakukan setiap enam bulan atau satu tahun. Sebaliknya, orang-orang Jepang
mengambil waktu yang lebih lama untuk sistem penilaian prestasi kerja, setiap
10 tahun atau kadang-kadang lebih lama lagi. Orang-orang Italia umpamanya,
lebih suka mengikuti tradisi dan berusaha menjaga praktik-praktik kerja yang
bersifat historis. Jadi, pengetahuan tentang kultur tertentu terhadap orientasi
waktu dapat memberikan pertimbangan bagi pelaku bisnis internasional, baik
dalam pelaksanaan rencana jangka panjang, lama berlakunya pembagian kerja
maupun batasan mengenai keterlambatan, yang biasanya digunakan oleh orang-orang
Amerika untuk membuat dan mempertahankan perjanjian.
c.
Orientasi
Aktivitas
Kultur negara-negara tertentu
mengutamakan tindakan keberhasilan dalam hidup ini. Kultur negara-negara yang
lain mengutamakan keberadaan atau kehidupan sementara. Kultur yang terakhir ini
mengutamakan pencarian pengalaman dalam hidup ini dan pencarian kepuasan secara
segera dari keinginan keinginannya. Kultur yang lain fokus pada pengontrolan
diri, di mana manusia menahan keinginan-keinginannya dengan cara menjauhkan
diri dari objek-objek yang diinginkan sebelum berkemampuan mendapatkannya
secara logis.
Orang Amerika Utara hidup dalam masyarakat yang
berorientasi kepada tindakan. Mereka bekerja keras dan berharap untuk
memperoleh penghargaan dengan promosi, kenaikan gaji atau bentuk-bentuk
pengakuan lain atas keberhasilannya. Sebaliknya, orang Meksiko lebih
berorientasi kepada keberadaan atau kehidupan sementara sehingga tidur siang
dianggap penting untuk istirahat dan memperoleh kenikmatan sebentar. Di pihak
lain, orang Perancis memilih orientasi kontrol diri dengan mengutamakan
rasionalitas dan logika.
Dengan mengerti hal-hal tersebut di atas, seseorang pebisnis
internasional perlu memahami pendekatan orang
dari berbagai negara terhadap budaya kerja serta bagaimana mereka membuat
keputusan dan kriteria yang digunakan untuk pemberian penghargaan. Umpamanya,
di negara-negara yang menganut orientasi keberadaan, keputusan-keputusan yang
dibuat cenderung emosional. Sebaliknya, pada kultur dengan orientasi tindakan
dan kontrol diri, keputusan-keputusan yang dibuat lebih pragmatis dan rasional.
d.
Sifat
Alamiah Manusia
Sifat alamiah manusia bisa memberikan ciri dari kultur
suatu bangsa, apakah kultur baik, jelek atau diantara keduanya . Di banyak
negara dunia ketiga, orang menganggap bahwa sifat alamiah manusia itu pada
dasarnya jujur dan dapat dipercaya. Di pihak lain, Uni Sovyet (Rusia) malah
menganggap bahwa sifat alamiah manusia pada dasamya kurang baik. Negara-negara
Amerika Utara menganggap manusia berada di antara keduanya. Mereka memandang
manusia sebagai makhluk yang baik, tetapi harus terus diawasi agar tidak
mengambil keuntungan dari kelengahan orang lain.
Dengan pengetahuan ini, pelaku bisnis internasional dapat
melihat pandangan kultur tentang sifat alamiah manusia yang secara dominan akan
mempengaruhi tipe kepemimpinan para manajer dalam masyarakat tersebut. Model
kepemimpinan otokratik lebih sering terjadi di negara-negara yang menganggap
sifat alamiah manusia itu pada dasamya buruk. Model kepemimpinan partisipatif
lebih sering terjadi di negara-negara yang mengutamakan nilai saling percaya.
Di negara-negara yang menganut kultur campuran, kepemimpinan cenderung
partisipatif, tetapi juga melakukan pengawasan yang sedikit ketat supaya dapat dengan
cepat mengidentifikasi penyimpangan.
e.
Rasa
Tanggung Jawab
Kultur dapat juga diklasifikasikan sesuai dengan fokus
rasa tanggung jawab seseorang untuk kesejahteraan orang-orang lain. Orang-orang
Amerika, umpamanya, dikenal bersifat individualistik. Mereka percaya bahwa
tanggung jawab seseorang itu terletak pada kemampuan mengurus diri sendiri.
Negara-negara seperti Malaysia, Indonesia dan Israel lebih fokus pada tanggung
jawab bersama/kelompok, yaitu mengutamakan keharmonisan, kesatuan dan
kesetiaan. Orang-orang Inggris dan Perancis lain lagi, mereka mempercayai
hubungan-hubungan yang hierarkis. Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara
ini dibuat ranking, yang relatif stabil, sehingga masyarakat-masyarakat yang
hierarkis ini cenderung aristokratis.
Dimensi kultur akan dapat memiliki implikasi pada waktu
mendesain pekerjaan, melakukan pendekatan dalam pembuatan keputusan,
corak-corak komunikasi, sistem penghargaan, dan praktik-praktik seleksi dalam organisasi
umpamanya, seleksi pada masyarakat yang individualistis mengutamakan
keberhasilan pribadi. Di dalam masyarakat kelompok, kemampuan kerja sarma yang
baik dengan orang lain mungkin dianggap lebih penting. Dalam masyarakat yang
hierarkis, keputusan seleksi dibuat berdasarkan status calon. Dimensi kultur
ini dapat menjelaskan mengapa pembuatan resume pelamar kerja, yang menyebutkan
daftar keberhasilan atau pengalamannya sangat populer di Amerika Serikat.
2.1.5.
Konsep
Tentang Ruang
Beberapa kultur negara tertentu kelihatan sangat terbuka
dan melakukan bisnisnya di tempat umum (public).
Di pihak lain, beberapa kultur memperlakukan segala sesuatu seperti milik
pribadi (Private). Tentu saja, masih
banyak kultur yang merupakan campuran dari kedua kultur ekstrim tersebut. Perusahaan-perusahaan Jepang
merefleksikan kegiatan di tempat umum tersebut. Orang yang memiliki kantor
privat hanya sedikit. Para manajer dan karyawan operasional bekerja dalam
ruangan yang sama, tanpa partisi untuk memisahkan meja-meja mereka. Di pihak
lain, perusahaan-perusahaan Amerika Utara juga merefleksikan kultur mereka
dengan menggunakan kantor-kantor privat untuk menunjukkan status.
Pertemuan-pertemuan penting selalu dilaksanakan secara tertutup. Kadang-kadang
untuk manajer top diberikan ruangan kantor yang ekstra luas dan eksklusif. Pada
masyarakat dengan kultur campuran, kantor bisa bersifat privat dan umum,
umpamanya dinding pemisah tidak terlalu tinggi (limited privacy). Konsep tentang ruang ini jelas memiliki implikasi
dalam organisasi, khususnya dalam desain pekerjaan dan komunikasi.
2.1.6.
Cultural
Stress (shock)
Setiap gerakan manusia dari satu negara ke negara lain
akan menimbulkan kebingungan, disorientasi, dan ketegangan emosional yang
disebut sebagai cultural shock. Orang
Amerika Serikat ke Kanada mungkin tidak
begitu memerlukan banyak penyesuaian karena kedua negara itu hampir sama dalam
kultur nasionalnya. Penyesuaian dalam program transfer eksekutif baru akan
menjadi berat bila transfer dilakukan ke negara-negara yang kultur nasionalnya
sangat berbeda dengan lingkungan yang lama.
Banyak studi tentang perilaku organisasi yang
menghubungkan pengalaman-pengalaman organisasi di Amerika atau negara-negara Barat
lainnya. Menyesuaikan konsep konsep perilaku
organisasi dengan kultur setempat perlu namun tidak semua konsep dapat diaplikasikan
di seluruh dunia. Bahkan, dalam satu negara yang terdiri dari bermacam macam suku
seperti Indonesia, perbedaan perbedaan kultur lokal pun sering mewarnai para
karyawan di perusahaan perusahaan besar, yang memerlukan pengertian dan
pendekatan khusus dalam mengatasi problem perilaku mereka yang berhubungan
dengan pekerjaan. Oleh karena itu, keberhasilan seorang top manajer sangat
tergantung pada kejeliannya dan kemampuannya mengatasi masalah-masalah ini
dengan seni manajemen yang didasarkan pada perilaku organisasi ini.
1.2. Motivasi dalam Bisnis Internasional
Motivasi
merupakan dorongan yang diberikan seseorang kepada orang lain untuk bersemangat
melakukan sesuatu. Dalam bisnis internasional manejemen menghadapi tantangan
dalam memotivasi krayawannya untuk mengembangkan produk baru, dan memperbaiki
pelayanan konsumen. Sehingga motivasi menyebabkan seseorang memilih perilaku
tertentu bukannya beberapa perilaku lainnya.
Poin
awal dalam memahami motivasi adalah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan
nilai. Kebutuhan adalah apa yang harus atau ingin dimiliki seseorang, sedangkan
nilai adalah apa yang dianggap penting oleh seseorang. Kebutuhan setiap
individu berbeda-beda muali dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Kebutuhan sekunder seringkali terwujud dalam pengaturan organisasi. Misalnya,
jika seseorang merasa puas dengan pekerjaannya, maka penghargaan yang diberikan
organisasi juga harus sesuai dengan kebutuhannya. Jika sesorang membutuhkan
kesempatan promosi tentu penghargaan dengan memberikan kantor yang bagus tentu
belum cukup baginya. Sedangkan nilai-nilai lebih dipengaruhi oleh keluarga,
teman sebaya, pengalaman dan budaya.
Pemebrian
motivasi kepada para pekerja di bisnis internasisional sangat berbeda tergantung
latar belakng budaya atau prilaku dari individu-individu tersebut. Misalnya,
manejer dan karyawan di negara yang individualistic akan sangat termotifasi
oleh kebutuhan dan penghargaan yang sifatnya individualis. Kesempatan untuk
mendemonstarsikan kompetensi dirinya untuk menerima pengakuan dari orang lain
mungkin akan sangat menarik baginya. Sebaliknya, orang dari budaya kolektif
akan sangat termotivasi oleh kebutuhan dan penghargaan yang sifatnya kelompok.
Konflik
dapat dengan mudah muncul ketika mekanisme perusahaan internasional dalam
memotivasi karyawannya berbenturan dengan sikap budaya. Bayak manejer Amerika
yang bekerja di Jepang mengalami kesulitan dengan system kompensasi yang
berbasis senioritas dan kinerja kelompok yang dianut di Jepang.
1.3. Kepemimpinan dalam Bisnis Internasional
Menurut
Jusi dalam Muljono (2006), budaya yang
kuat didukung oleh faktor-faktor : ledearship,
sense of direction, climate, positive teamwork, value add systems, enabling
structure, appropriate competences, and developed individual. Diantara
faktor pendukung tersebut, menurut pengalaman ternyata faktor leadership sangat
menonjol, dalam arti bahwa komitmen, kesungguhan tekad dari pimpinan terutama
pimpinan puncak suatu organisasi, merupakan faktor utama dan sangat mendukung
terlasananya suatu budaya di perusahaan.
Gamabar 1.
Core
Values Component
Sumber
: Muljono (2006)
Bisnis
internasional memberikan tantangan bagi para manajer yang semula hanya
beroperasi secara nasional saja. Mereka menghadapi system - sistem hukum dan
politik, situasi ekonomi dan kebijaksanaan perpajakan yang berbeda antar negara.
Tetapi, mereka juga harus bisa mengerti dan mengikuti berbagai kultur nasional,
yaitu nilai-nilai penting yang dipraktekkan yang memberikan kekhususan kepada
negara-negara yang bersangkutan, yang di negaranya sendiri mungkin tidak pernah
dialami sepanjang hidup. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan kesulitan
bagi para manajer multinasional.
Faktor
budaya termasuk faktor yang paling sulit dan kompleks untuk dipahami, faktor
ini termasuk menjadi faktor terpenting dalam menentukan efektivitas pimpinan.
Sangat penting bagi pemimpin untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan konteks
orang yang mereka pimpin dan organisasi mereka tempat bekerja. Seorang menejer
harus mampu melihat perbedaan-perbedaan itu dengan bijak dan tidak gegabah
dalam bertindak dan mengambil keputusan. Manejer harus menghormati norma dan
yang berlaku untk kelansungan perusahaan dan tidak egois dan berpandangan
sempit (Parochialism).
Parochialism,
yaitu pandangan sempit seorang manajer yang kurang mampu untuk mengenali adanya
perbedaan-perbedaan di antara sesama manusia dan ethnocentric views, yaitu keyakinan bahwa nilai kultur dan
kebiasaan suatu bangsa itu lebih baik dari bangsa-bangsa lainnya, sering
terjadi pada sebagian besar manajer dari Amerika Serikat. Sebagai contoh,
mereka hanya mau berbahasa Inggris karena merasa pasar domestiknya sudah sangat
besar. Karena perasaan superior tersebut, orang-orang lain dari negara manapun
"diwajibkan" berbahasa Inggris bila ingin berhubungan dengan mereka.
Parochialism dan
ethnocentrism yang menghinggapi
mereka ini tidak begitu negatif akibatnya pada masa sesudah Perang Dunia II,
ketika Amerika Serikat masih menguasai 75% dari pendapatan kotor dunia. Tetapi,
sekarang sikap serupa telah menjadi ancaman karena perusahaan-pemrusahaan
Amerika Serikat hanya mampu menguasai sekitar 20% dari GNP dunia (Boyacigiller
& Adler, 1991). Jadi, penting untuk dicamkan bahwa dunia ini tidak lagi
didominasi oleh kekuatan ekonomi Amerika Serikat. Kalau ingin memperoleh
keuntungan penuh dari berbagai kesemapatan baru dalam ekonomi global, para
manajer Amerika Serikat harus dapat membuang jauh sikap-sikap tersebut diatas.
Para pemodal asing sekarang ini sudah mengontrol lebih
dari 12% dari semua aset perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan
mempekerjakan lebih dari tiga juta tenaga kerja Amerika (Mc Whirter, 1989).
Tetapi, mereka juga membuat kekeliruan yang sama seperti yang dilakukan para
eksekutif Amerika di luar negeri. Sebelumnya para tenaga kerja Amerika ini
merasa lebih stabil dan aman. Tetapi ketika para pemilik baru ini mengambil
alih perusahaan Amerika Serikat dengan cara manajemen yang berbeda, mereka
merasa terancam dengan ketidak pastian, yang sering tidak diperhatikan oleh
para manajer asing. Para manajer asing dari Eropa maupun Asia masih
diskriminatif, meskipun tidak resmi ataupun terselubung, terhadap tenaga kerja
wanita. Banyak tenaga kerja Amerika mengeluh dengan kebiasaan-kebiasaan
tradisional perusahaan-perusahaan Eropa dan Asia, yang mengambil alih
perusahaan-perusahaan Amerika.
Umpamanya, para manajer Jepang biasa bekerja 10-12 jam
sehari yang dilanjutkan dengan sosialisasi hingga tengah malam. Padahal, banyak
pembicaraan bisnis yang dilakukan justru pada saat sosialisasi semacam itu
sehingga para manajer Amerika merasa ditinggalkan dan hal ini betul-betul
menyakitkan karena merasa tidak dipercaya. Cara-cara Jepang dalam berkomunikasi
dengan karyawan Amerika juga menimbulkan kesulitan. Orang-orang Amerika lebih
langsung dan berterus terang, mengatakan tepat seperti yang dimaksudkan. Di
pihak lain, orang-orang Jepang mengutamakan konsensus kelompok, yang merupakan
praktik yang tidak begitu sesuai di Amerika Serikat. Orang-orang Amerika yang
biasanya ingin cepat mengambil keputusan merasa prustasi bila terjadi
penundaan-penundaan demi konsensus.
1.4. Kelompok dan Tim dalam Bisnis
Internasional
Kelompok
merupakan kumpulan dari orang yang bekerjasama untuk mencapai sebuuah tujuan
yang sama, sedangkan tim merupakan jenis grup khusus yang menerima tanggung
jawab untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri.
Tim yang matang diperusahaan akan memiliki karenteristik sebagai berikut
:
1. Mampu
mengembangkan struktur peran yang jelas, setiap anggota memiliki peran dalam
tim, menerima peran itu dan member kontribusi yang berharga.
2. Tim
menyusun norma-norma bagi anggotanya untuk standar perilaku dalam organisasi.
3. Tim
bersifat kohesif, artinya anggota tim semakin lama semakin loyak terhadap tim,
dan setiap anggota menhargai, menghormati dan dapat bekerjasama yang baik
dengan anggta laiinya.
4. Beberapa
tim memilih seseorang pimpinan informal dari timnya, yaitu seorang individu
yang diberi status khusus oleh tim dan dapat memimpin dan memberi arahan tim
tanpa memperoleh keuntungan dari otoritas formal.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1.
Proses perilaku dan proses interpersonal
sangat penting dalam setiap organisasi. Perbedaan individu memberikan dasar
bagi pola perilaku dalam budaya yang berbeda. Ciri sikap , persepsi, kepribadian
dan stres merupakan perbedan-perbedaan individu yang harus dipaham oleh
manenejer internasional
2.
Motivasi merupakan sekumpulan kekuatan yang
menyebabkan sesorang memilih perilaku tertentu dari serangkaian perilaku yan
ada. Model motivasi yaitu berbasis kebutuhan, berbasis proses, dan
pemebrdayaan.
3.
Kepemimpinan merupakan penggunaan pengaruh
untuk membentuk tujuan kelompok atau organisasi tanmpa paksaan, dan membantu
utnk menetukan budaya kelompok atau organisasi tersebut. Orang dari budaya yang
berbeda menunjukan reaksi yang berbeda terhadap perilaku kepemimpinan seorang
manejer. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan dimensi budaya atau oleh
perilaku individu itu dendiri
4.
Kelompok dan tim merupakan bagian dari semua
organisasi,. Struktur, peran, sifat, norma-norma dan kepemimpinan informal
semuanya memeberikan kontribusi terhadap kesuksesan dan kegagalan perusahaan.
3.2. Saran
Bagi
seorang manejer ataupun karyawan bisnis internasional agar dapat memahami
karakter individu-individu dari latar belakang budaya yang berbeda untuk dapat
bekerjasama dalam menjalankan misi untuk mencapai visi perusahaan dalam bisnis
internasional.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Anindita, R. 2008, Bisnis dan Perdagangan Internasional.
Penerbit Andi, Yogyakarta
Hamdani, 2007. Studi Kasus Pemasaran Ekspor. BHUSINDO,
Jakarta
Hill, Charles W.L, 2011 , International Bussiness : Competing in Global Marketplace ,8th Edition, Mc
Graw-Hill companies Inc. 1221 Avenue of Americas, New York, NY 10020
Griffin dan Pustay. 2005,
Bisnis Internasional edisi ke 4. PT. Indeks kelompok gramedia, Jakarta
Moljono. 2006, Cultured, Budaya Organisasi Dlam
Tantangan, PT. Garmadia, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar