- PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Permintaan terhadap
bahan pangan mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk,
pertumbuhan jumlah penduduk tidak sebanding dengan pertumbuhan produksi pangan
karena pertumbuhan penduduk berdasarkan deret angka sedangkan pertumbuhan
produksi pngan berdasarkan deret ukur. Salah satu komoditi bahan pangan yang mengalami
peningkatan yang signifkan adalah daging sapi. Peningkatakan permintaan
terhadap daging sapi disebaabkan oleh beberapa faktor dianataranya : tingginga
pendapatan perkapita pependuduk, tingginya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan
yang bergizi tinggi dan tingginya permintaan terhadap daging olahan sehngga
permintaan induastri pengolahan daging semakin tinggi.
Peningkatan permintaan
daging sapi dalam negeri merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi usaha
peternakan dalam negeri. Peluang dengan terbukanya pasar domestic yang luas
sedangkan tantangannya adalah produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk
ke pasar domestic. Selama ini kebutuhan daging dalam negeri dipasok dari daging
sapi lokal, daging sapi impor dan dari impor daging beku. Kebutuhan daging
mengalami peningkatan dari tahun ketahun dan terjadinya perubahan pola konsumsi
konsumen yang mengkonsumsi pangan olahan dengan mutu yang tinggi. Kebutuhan
daging sapi saat ini adalah 484.000 ton dengan pasokan dari dalam negeri
sebesar 399.320 ton atau 82,5 % dari kebutuhan dan sisanya 84.740 ton atau 17,5
% dipenuhi dari impor.
Tingginya permintaan
daging sapi tidak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan peternak bahkan
harga sapi ditingkat peternak sering mengalami penurunan hal ini disebabkan
daya saing daging sapi dalam negeri masih rendah. Daging sapi dalam negeri
hanya dipasarkan di pasar-pasar tradisional sedangkan untuk pasar modern dan
industri pengolahan, berasal dari daging impor. Rendahnya daya saing daging
sapi lokal dapat dilihat dari mutu dan standar daging sapi lokal yang belum
memenuhi standar pasar modern dan industri, disamping itu harga daging sapi
impor lebih kompetitif dibandingkan harga daging sapi lokal.
Berkaitan dengan hal
tersebut dalam rangka peningkatan daya saing peternakan sapi dalam negeri dan
peningkatan ketahanan pangan dan swasembada pangan nasional, pemerintah telah
mencanangkan program swasembada daging sapi dalam negeri mulai dari tahun
2005-2010, namun belum dapat tercapai oleh karena itu pada tahun 2010
pemerintah kembali mencnangkan program swasembada gaging sapi pada tahun 2014.
Diperkirakan pada tahun 2014 indonesia sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan
daging sapi dalam negeri dari sapi lokal walaupun ada impor diperkirankan hanya
sebesar 10 % saja dari kebutuhan daging dalam negeri.
Indonesia mempunyai
peluang untuk pengembangan ternak sapi, hal ini terlihat dari potensi
komparatif yang dimiliki mulai dari sumber daya alam, sumber pakan, iklim, dan
topografi serta sumber daya manusia sangat mendukung untuk pengembangan ternak
sapi. Disamping itu beberapa wilayah di Indonesia memiliki keunggulan lokal
dalam pengembangan ternak sapi, seperti di beberapa wilayah timur (NTT, NTB, Bali
dan Sulawesi).
1.2.
Rumusan
Masalah
Kebutuhan daging sapi
dalam negeri belum dapat sepenuhnya dipenuhi dari produksi daging sapi dalam
negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri harus diimpor. Indonesia
pada dasarnya mempunyai potensi untuk pemengembangan ternak sapi dalam negeri
hal ini didukung oleh potensi sumber daya alam, disamping itu sector peternkan
akan dapat untuk meningkatkan pendapatan petani. Untuk mempercepat pertumbuhan
produksi sapi dalam negeri pemerintah telah menetapkan program swasembada
daging sapi dalam negeri pada tahun 2014. Untuk mendukung program tersebut dan
meningkatkan daya saing peternak dalam negeri pemerintah telah menurunkan kuota
impor daging secara bertahap setiap tahunnya sehingga diharapkan pada tahun
2014 Indonesia mampu untuk berswasembada daging sapi ataupun bisa mengurangi impor
daging sapi hingga diharapkan impor hanya sekitar 10 persen dari kebutuhan
daging dalam negeri.
1.3.
Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk melakukan analisis terhadap program dan kebijakan swasembada
daging sapi tahun 2014 sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai
pembelajaran bagi penulis untuk melakukan analisis strategi kebijakan
pemerintah untuk mencapai swasembada daging sapi serta dapat memenuhi tugas
penulisan makalah pada matakuliah Strategi Kebijakan Agribisnis.
1.4.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup dari
penulisan makalah ini adalah pada bagian pertama menjelaskan tentang konsep
ketahanan pangan dan swasembada pangan, bagian kedua menjelaskan tentang
program dan rencana aksi Kementerian Pertanian untuk mencapai swasembada daging
sapi tahun 2014, bagian ketiga melakukan analisis strategi manajemen program
swasembada daging sapi melalui analisis lingkungan internal dan eksternal, bagian
ke empat evaluasi terhadap kebijakan swasembada daging sapi serta bagian akhir
dari penulisan adalah kesimpulan dan saran.
1.5.
Metoda
Penulisan
Metode penulisan ini
adalah berdasarkan studi pustaka dan setelah itu dilakukan analisis strategi
kebijakan swasembada daging sapi dengan diagram IFAS dan EFAS serta dilakukan
anlisis SWOT kemmudian dilakukan evaluasi terhadap program-program pencapaian
swasembada daging sapi tahun 2014.
II.
KONSEP
DASAR KETAHANAN DAN SWASEMBADA PANGAN
2.1.
Konsep
Ketahanan Pangan
Dalam PP No.68/2002
yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi
oleh sumber produksi dalam negeri sendiri atau dari sumber lain. Menurut Nainggolan
(2009) selain aspek diatas yang tidak kalah penting dalam ketahanan pangan
adalah kemudahan bagi rumah tangga/ konsumen untuk mengakses pangan itu
sendiri. Menurut World Bank (1986) ketahanan pangan adalah akses oleh semua
orang sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup untuk hidup aktif dan sehat.
Sementra itu menurut FAO (1996), ketahanan pangan ada ketika semua orang,
setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi yang menandai terhadap makanan
yang aman dan bergizi untuk memenuhi pangan mereka sesuai dengan preferensi
pangan untuk hidup sehat dan aktif.
Sedangkan menurut UU Pangan No. 7/1996 yang telah direvisi menjadi UU
Pangan No.18/2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlahnya dan mutunya, aman,
merata, dan terjangkau.
Konsep ketahanan pangan
tidak terlepas dari kebijakan ketahanan pangan dunia yang diusung PBB pada
tahun 1971 dengan tujuan untuk membebaskan dunia terutma negara-negara
berkembang dari krisis produksi dan supplai makanan pokok (Karun, 2012). Fokus
ketahanan pangan pada masa itu menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pokok
dan membebaskan daerah dari krisis pangan. Sampai sekarang konsep ketahanan
pangan menjadi konsep utama lembaga dunia dan juga negara dalam upaya mengatasi
persoalan pangan, termasuk kedalamnya masalah ancaman krisis pangan.
Untuk mengukur
ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari ketergantungan
ketersediaan pangan nasional minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam
negeri (Suryana, 2004). Pentingnya ketahanan pangan karena pangan merupakan
kebutuhan hakiki manusia yang harus dipenuhi, negara sangat menjamin
kelangsungan hidup seluruh warganya salah satu yang harus dipenuhi adalah
kebutuhan pangan. Pangan sangat berperan untuk peningkatan sumber daya manusia.
2.2.
Konsep
Swasembada Pangan
Konsep swasembada
pangan pada dasarnya adalah bagaimana terpenuhinya kebutuhan pangan dalam
negeri dari hasil pertanian negeri sendiri. Swasembada pangan sangat erat
kaitannya dengan kedaulatan pangan. Swasembada pangan lebih luas dari ketahanan
pangan, ketahanan pangan hanya berbicara pada tataran bagaimana pangan selalu
ada dan dapat diakses oleh penduduknya tanpa melihat dari mana asal pangan
tersebut, sedangkan swasembada pangan adalah penyediaan pangan dalam negeri
berasal dari hasil pertanian dalam negeri sendiri.
Negara-negara maju
sangat konsen dalam mewujudkan pangannya, bahkan memeberikan subsidi yang besar
kepada petani demi untuk mencukupi pangannya. Seperti negara-negara OECD
memberikan subsidi kepada petani hingga sampai FOB. Lembaga yang sering
menyuarakan swasembada/ kedaulatan pangan adalah La Via Campesina, et al (2008) dalam Karun (2012),
menjelaskan bahwa kedaulatan pangan memprioritaskan produksi pertanian lokal
untuk mendukung ketersediaan bahan pangan untuk masyarakat. Pendekatan lemabaga
ibid an kembaga yang berafiliasi dengannya adalah pendekatan hak asasi manusia,
yaitu kebutuhan hak asasi manusia dari kontek kebutuhan pangan.
Dalam salah satu
laporan tentang hak atas pangan yang disusun oleh PBB pada tahun 2004,
kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, komunitas, dan
negeri-negeri untuk menetukan sistem produksinya sendiri dalam lapangan
pertanian, perikanan, pangan, dan tanah serta kebijakan lain yang secara
ekologi, social dan budaya sesuai dengan keadaan khusus (keunikan
masing-masing).
2.3.
Swasembada
Daging Sapi
Daging merupakan pangan
yang bernilai gizi tinggi penting dalam peningkatan sumber daya manusia. Sub
sektor peternakan merukan penyumbang utama untuk penyedia pangan bergizi tinggi
seperti daging, telur dan susu. Selain penyedia pangan sub sektor peternakan
juga sangat berperan dalam peningkatan lapangan pekerjaan baik di sektor input
produksi, budidaya, dan sektor jasa lainnya serta peningkatan pendapatan petani.
Sebagai negara dengan
jumlah penduduk yang besar kemandirian pangan menjadi sangat penting. Menurut
Yusdja dan Ilham (2006), Industri peternakan yang ketergantungannya tinggi
terhadap bahan baku dan teknologi impor memiliki
resiko tinggi. Ketergantungan pangan pada negara lain akan sangat berbahaya
bagi kedaulatan bangsa tersebut, oleh karena pentingnya pangan maka
negara-negara maju sangat konsen untuk meningkatkan ketahanan pangannya tidak
salah kiranya sebuah ungkapan dari preseiden Amerika, Hendry Kissinger yang
mengatakan “ control oil and you control
the nation, control food and you control the people”. Pepatah Arab juga
mengatakan “Negara yang kaya ternak tidak
akan pernah miskin, negara yang miskin ternak tidak akan pernah kaya”
(Capambel dan Laslai)
Ketergantungan sapi
bibit impor untuk meningkatkatkan populasi dalam negeri akan sangat berbahaya
ketika permintaan daging semakin meningkat, akibatnya sapi untuk tujuan
pembibitan dipotong demi memenuhi permintaan pasar/konsumen. Oleh karena itu
ketahanan pangan dan swasembada pangan harus menjadi sangat penting dalam
kehidupan berbangsa dan untuk mempertahankan kehidupan.
Swasembada berarti 100
persen kebutuhan daging sapi dalam negeri dipenuhi oleh produksi ternak dalam
negeri. Swasembada daging sapi sudah dicanangkan semenjak tahun 2005
ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2010, namun kenytaannya belum dapat
tercapai sehingga pemerintah menargetkan kembali swasembada baru tercapai pada
tahun 2014. Konsep swasembada daging sapi tentu bukanlah hal yang tidak mungkin
dicapai jika ada kesungguhan untuk mebangun agribisnis ternak sapi potong dalam
negeri.
Potensi pasar dan
sumber daya yang mendukung seharusnya menjadi peluang untuk pengembangan ternak
sapi potong dengan keunggulan komparatif dan kompetitif dipasar lokal maupun
ekspor. Beberapa kajian yang di review Siregar
dan Ilham (2003) menunjukan bahwa usaha peternakan Indonesia memberikan
keuntungan dan mempunyai keunggulan komparatif.
Namun bukan tidak ada
kesulitan dalam mewujudkan swasembada daging sapi, ada beberapa faktor yang
menyebabkan sulitnya pencapaian swasembada : dibagian hulu adalah 1) sebagian
besar usaha peternakan adalah petani kecil dengan skala kepemilikan 1-3 ekor
yang hanya sebagai tabungan bukan pendapatan utama, 2) Manajemen peternakan
masih sangta sederhanan, 3) produktivitas ternak rakyat masih rendah dan 4)
manajemen peternakan masih tradisional sedangkan permasalahan hilir adalah 1)
pasar yang semakin terbuka sehingga produk/daging impor tidak dapat dihambat
kalau tidak ada alasan yang kuat, 2) Belum terintegrasinya kegiatan industri
dengan kegiatan penggemukan sapi, bahkan industri cenderung menggunakan produk
impor karena mudah didapatkan dan harga yang lebih kompetitif, 3) Preferensi
konsumen terutama di restoran daging dan supermarket lebih menyukai daging sapi
impor dengan alasan-alasan tertentu.
III.
KEBIJAKAN
DAN STRATEGI SWASEMBADA DAGING SAPI TAHUN 2014
Berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian No. 19/ Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program
Swasembada Daging tahun 2014, telah dirumuskan dan dilaksanakan berbagai sub
program untuk mencapai program swasembada daging sapi tersebut. Dalam blu print program swsembada daging sapi
tahun 2014 yang sudah di revisi tahun 2012 maka beberapa program yang akan
dilakukan untuk mencapai swasembada adalah penyediaan bakalan sapi dan kerbau,
peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal, pengendalian
sapi/kerbau betina produktif, penyediaan bibit sapi/kerbau lokal dan pengaturan
stock daging sapi/kerbau dalam negeri. Untuk lebih jelas masing-masing program
tersebut didukung oleh kegiatan-kegiatan teknis sebagaimana diuraikan dibawah
ini :
3.1. Penyediaan
Bakalan/Daging Sapi/Kerbau
Lokal
1.
Pengembangan
usaha pembiakan dan penggemukan sapi/kerbau lokal
Kegiatan ini ditargetkan untuk
meningkatkan populasi ternak sapi/kerbau dan produksi daging, melalui
pelaksanaan kegiatan operasional sebagai berikut:
1)
Pengembangan
usaha penggemukan atau tunda potong sapi/kerbau lokal dan sapi persilangan (IB)
melalui penguatan modal usaha kelompok peternak, dengan cara memberikan
fasilitas kredit murah maupun pemberian modal abadi (dalam bentuk bantuan
sosial) dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah daerah
kepada kelompok peternak yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu.
2)
Peningkatan
usaha agribisnis sapi potong dan kerbau untuk usaha penggemukan sekaligus
mempercepat peningkatan populasi ternak melalui Sarjana Membangun Desa (SMD),
dengan cara pemberian kredit murah jangka panjang dan atau modal abadi (dalam
bentuk bantuan sosial) dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau
pemerintah daerah kepada kelompok peternak yang dimotori oleh peternak
berpendidikan minimal sarjana/D3 Peternakan/Keswan yang dipilih berdasarkan
kriteria tertentu.
2.
Pengembangan pupuk organik dan biogas
Dalam rangka
meningkatkan pengembangan usaha penggemukan sapi lokal dan atau sapi
persilangan (IB) melalui pola Kereman,
kegiatan ini ditargetkan untuk menghasilkan pupuk organik dan biogas melalui
kegiatan operasional sebagai berikut :
1)
Pengembangan
pupuk organik dan jaringan pemasaran, dengan cara:
1)
Pemberian
bantuan dana untuk membangun rumah kompos (bangunan penyimpan kotoran ternak
untuk diproses lebih lanjut) beserta semua perangkatnya di kelompok serta untuk
pengadaan ternak.
2)
Pemberian
pelatihan manajemen dan organisasi bagi kelompok peternak pengelola rumah
kompos, beserta pelatihan usaha agribisnis sapi potong berbasis sumberdaya
lokal.
3)
Fasilitasi
promosi dan pengembangan jaringan pemasaran kompos dan tata-niaga ternak.
3.
Pembangunan
instalasi biogas untuk penyediaan energi alternatif di pedesaan, dengan cara:
4)
Pemberian
bantuan dana untuk membangun instalasi biogas beserta seluruh perangkat
penunjangnya di kelompok peternak yang populasinya memiliki jumlah minimal
tertentu dan secara fisik lokasi kandangnya berkelompok.
5)
Pemberian
pelatihan dalam pemanfaatan biogas secara optimal bagi anggota kelompok peternak.
3.2. Pengembangan
integrasi ternak
ruminansia
Kegiatan pengembangan
integrasi ternak ruminansia ditargetkan untuk memberikan nilai tambah bagi
pengembangan usaha budidaya tanaman, sekaligus meningkatkan populasi ternak
sapi melalui kegiatan operasional sebagai berikut :
1.
Integrasi
ternak ruminansia untuk
usaha pembiakan dan penggemukan,
dengan cara:
1)
Koordinasi dengan instansi
terkait (Disnak/Disbun, Ditjenbun, Ditjen Tanaman Pangan).
2)
Fasilitasi pengadaan
ternak dan sarana prasarana pendukung (pengolah pakan) untuk
kelompok peternak/pekebun.
2.
Pengembangan
teknologi alat mesin pengolah pakan dan
litbang pakan alternatif (limbah agro-industri)
3.
Integrasi
ternak sapi potong melalui program CSR/kemitraan
dan pemanfaatan lahan kehutanan.
1)
Sosialisasi dan
koordinasi dengan pihak terkait (perkebunan kelapa sawit besar dan
BUMN/PTP perusahaan pertambangan, Kementerian Kehutanan, Disnak/Disbun dll).
2)
Fasilitasi kerjasama
antara Pemda dengan perusahaan perkebunan
3)
Fasilitasi kelompok untuk
pemanfaatan lahan kehutanan
3.3. Peningkatan jumlah dan kualitas Rumah Potong Hewan (RPH)
Peningkatan kualitas RPH ditargetkan
untuk penerapan hygiene dan sanitasi di RPH dalam upaya penyediaan pangan asal
ternak yang ASUH (Aman,
Sehat,
Utuh,
dan Halal). Dengan kegiatan ini diharapkan akan terwujud 35 RPH di 20 provinsi yang memenuhi
standar internasional. Kegiatan ini diharapkan dapat memudahkan pencegahan
pemotongan sapi betina produktif. Adapun pelaksanaan kegiatan operasionalnya meliputi :
1. Pembangunan
RPH baru di provinsi yang memiliki potensi dalam usaha pemotongan hewan namun
belum memiliki fasilitas RPH yang memenuhi persyaratan teknis hygiene-sanitasi
dengan cara:
1)
Pembangunan RPH baru yang memenuhi
persyaratan teknis hygiene-sanitasi dan kesejahteraan hewan, baik dari aspek
lokasi, prasarana jalan dan air bersih, bangunan, dan peralatan.
2)
Penyiapan Sumberdaya Manusia RPH yang
terampil dan terlatih.
3)
Peningkatan kemampuan pengelola RPH
dalam menerapkan manajemen RPH sebagai sarana pelayanan masyarakat untuk
menghasilkan produk yang ASUH.
2.
Renovasi RPH yang sudah ada dengan
cara:
1)
Fasilitasi perbaikan bangunan dan/atau
peralatan RPH sehingga mampu menerapkan praktek hygiene-sanitasi dan kesejahteraan hewan.
2)
Pembinaan
pelayanan teknis kesmavet di RPH.
3)
Penatalaksanaan manajemen dan operasional RPH yang
mengacu kepada prinsip sistem jaminan keamanan dan
kehalalan pangan.
3.4. Peningkatan
Produktivitas dan Reproduktivitas Ternak Sapi Lokal
1.
Optimalisai
IB (Inseminasi Buatan) dan
InKA (Indukan Kawin Alam)
Kegiatan ini ditargetkan untuk
meningkatkan jumlah kelahiran melalui teknologi IB dan InKA, dengan
melaksanakan kegiatan operasional sebagai berikut:
a. Penguatan
SDM dan Kelembagaan IB
1)
Pengembangan SPIB
2)
Pemberdayaan Pos IB atau Puskeswan
3)
Pelatihan Petugas Teknis IB
(Inseminator, PKB, ATR dll)
b. Pengadaan
sarana dan prasarana IB
1)
Pengadaan bahan dan alat IB
2)
Pengadaan sarana distribusi semen beku
3)
Pengadaan sarana transportasi (Roda -2)
c. Sinkronisasi
Birahi dan Kelahiran ganda
1) Pemeriksaan
status reproduksi akseptor
2) Pengadaan
bahan dan alat sinkronisasi
3) Penyerempakan
birahi
4) IB
dan TE
5) PKB
6) Panen
pedet hasil sinkronisasi dan kelahiran ganda
d. Fasilitasi
produksi semen sapi lokal dan kerbau di BIBD
1)
Penguatan kelembagaan InKA
2)
Workshop InKA
3)
Pelatihan petugas InKA
4)
Optimalisasi InKA
e. Pengadaan dan distribusi pejantan pemacek
2.
Penyediaan dan pengembangan pakan dan air
Kegiatan ini
ditargetkan untuk dapat memenuhi kebutuhan air minum dan pakan pada saat musim
kering, seiring dengan peningkatan jumlah ternak sapi, dengan melaksanakan
kegiatan operasional sebagai berikut:
a.
Penyediaan hijauan pakan berkualitas
1) Pengembangan
sumber benih/bibit Hijauan Pakan Ternak (HPT)
2) Gerakan
pengembangan pakan berkualitas (Gerbangpatas)
3) Penguatan
dan pengembangan serta perluasan areal padang
penggembalaan
4) Perluasan
areal kebun HPT
b.
Aplikasi teknologi dan pengembangan
industri pakan ruminansia.
1)
Pengembangan unit pengolah pakan (UPP)
2)
Pengembangan lumbung pakan (feed bank)
c.
Bimbingan teknologi pakan
1)
Pengembangan kualitas SDM pakan
2)
Pengembangan laboratorium pakan daerah
3.
Penanggulangan gangguan reproduksi dan
peningkatan pelayanan kesehatan hewan
Kegiatan
ini ditargetkan untuk mengurangi tingkat kegagalan reproduksi sapi betina
produktif yang telah dikawini/diinseminasi, dengan melaksanakan kegiatan
operasional sebagai berikut:
a.
Penanggulangan
gangguan reproduksi, dengan cara:
1) Pemeriksaan
akseptor terhadap status penyakit Brucellosis
(khusus di daerah yang belum bebas Brucellosis);
2) Peningkatan
kualitas SDM yang menangani penyakit reproduksi;
3) Pengadaan
obat-obatan dan hormonal;
4) Penanganan
ternak yang mengalami gangguan reproduksi;
5) Monitoring,
evaluasi, dan pelaporan.
b.
Peningkatan
pelayanan kesehatan hewan, dengan cara:
2)
Pembangunan pusat
kesehatan hewan di wilayah padat ternak.
3)
Pemeriksaan,
identifikasi, dan pemetaan kasus parasit internal dan kematian pedet.
4)
Pengadaan obat-obatan
parasit internal, terapi antibiotika, dan penambah daya tahan.
5)
Monitoring, evaluasi dan
pelaporan.
3.5. Pengendalian Sapi/Kerbau
Betina Produktif
1.
Pengendalian Sapi/Kerbau
Betina Produktif
Kegiatan ini ditargetkan untuk mencegah pemotongan sapi/kerbau betina produktif sekaligus memperbaiki produktivitasnya melalui
penyelamatan dan pemberian insentif sapi/kerbau betina produktif dengan
kegiatan operasional sebagai berikut :
a.
Fasilitasi
pemberian insentif untuk menyelamatkan sapi/kerbau betina bunting.
b.
Fasilitasi
untuk menyelamatkan dan menjaring sapi/kerbau betina produktif.
c.
Pembinaan
kelompok peternak yang sudah
mengembangkan sapi betina produktif dan kelompok peternak pembibit.
2.
Penyediaan
Bibit Sapi/Kerbau
Lokal
Kegiatan
ini ditargetkan untuk meningkatkan jaminan ketersediaan benih dan bibit sapi/kerbau yang berkualitas dalam rangka memenuhi kebutuhan
sapi potong dan kerbau lokal
sehingga produksi daging di dalam negeri dapat meningkat dan mencukupi
kebutuhan sebagian besar daging sapi/kerbau,
melalui pelaksanaan kegiatan operasional sebagai berikut:
3.
Penguatan
kelembagaan pembibitan dan wilayah
sumber bibit, dengan cara:
a.
Pengembangan pembibitan
ternak melalui uji zuriat, uji performans, manajemen pembibitan terpadu
b.
Penguatan UPT/D pembibitan dan
sinergisme antar UPT/D
lingkup Kementan dalam rangka penyediaan bibit sapi unggul.
c.
Penetapan dan penguatan wilayah pembibitan.
4.
Pengembangan pembibitan sapi/kerbau di kelompok,
dengan cara:
a.
Penambahan
sapi bibit di kelompok peternak.
b.
Pembinaan
dan pendampingan kelompok peternak calon pembibit.
c.
Penerapan
GBP untuk menghasilkan bibit sesuai standar.
d.
Penyusunan
kriteria Village Breeding Centre
(VBC)
5.
Pengembangan usaha pembibitan
melalui Skim Kredit (KUPS), dengan cara:
a.
Pemetaan
daerah (peserta KUPS) yang berpotensi dalam penyerapan KUPS.
b.
Sosialisasi
KUPS di pusat dan daerah
c.
Koordinasi
dan sinkronisasi pelaksanaan KUPS
d.
Pembinaan,
pendampingan dan pengawasan pelaksanaan KUPS
e.
Identifikasi
integrasi program KUPS dan program SMD/program lainnya
f.
Monitoring
dan evaluasi
3.6. Pengaturan
Stock Daging Sapi/Kerbau
Dalam Negeri
1. Pengaturan
stock sapi bakalan dan daging.
a.
Pengaturan
stock sapi bakalan.
Kegiatan ini ditargetkan untuk
memberdayakan usaha peternakan sapi potong dan kerbau berbasis sumber daya
lokal, melalui kegiatan
operasional sebagai berikut:
1)
Penerapan regulasi impor sapi bakalan
secara benar dan konsisten.
2)
Penyusunan regulasi setingkat Peraturan
Menteri tentang pemasukan dan pengeluaran sapi potong dan bibitnya; serta
penyusunan pedoman (SOP) untuk impor sapi bakalan.
3)
Pengawasan dan pemantauan kegiatan impor
sapi potong bakalan sesuai dengan paraturan dan perundang-undangan yang ada.
4)
Pembinaan kepada perusahaan feedlot
agar mengkonversi usahanya menjadi perusahaan penggemukan berbasis sapi lokal
atau menjadi perusahaan pembibitan secara bertahap.
5)
Revitalisasi sistem karantina hewan
terkait dengan impor bibit dan sapi bakalan yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Pengaturan stock daging.
Kegiatan operasional ini bertujuan untuk
meningkatkan daya saing produk daging lokal, melalui kegiatan operasional :
1) Penyempurnaan
dan penegakan Peraturan Menteri Pertanian tentang pemasukan daging yang
terjamin ASUH.
2) Pengawasan
dan pemantauan kegiatan impor daging sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3) Pembinaan
kepada importir dan distributor daging agar mendukung pengembangan perdagangan
daging sapi lokal.
4) Pengembangan
klasifikasi potongan daging sapi lokal hasil penggemukan.
5) Revitalisasi
RPH dalam rangka menghasilkan daging yang berkualitas setara daging impor.
2. Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi/kerbau dan daging
a.
Pengaturan distribusi
dan pemasaran sapi.
Kegiatan
ini ditargetkan untuk menjamin ketersediaan sapi di dalam negeri dan menjaga
stabilitas harga sapi, melalui kegiatan operasional sebagai berikut:
1) Penetapan
pengeluaran dan pemasukan sapi untuk keperluan bibit maupun pengembangan sapi
antar wilayah oleh pemerintah daerah melalui koordinasi dengan pemerintah
pusat.
2) Penyusunan
regulasi setingkat Peraturan Menteri tentang pendistribusian dan pemasaran
sapi.
3) Pengawasan
dan pemantauan kegiatan perdagangan sapi
potong antar wilayah, serta pendistribusian dan pemasarannya.
4) Revitalisasi
sistem karantina hewan terkait dengan perdagangan sapi bibit dan sapi bakalan
antar wilayah.
b.
Pengaturan
distribusi dan pemasaran daging di dalam negeri.
Kegiatan
operasional ini bertujuan untuk
menjamin
ketersediaan daging di dalam negeri dan menjaga stabilitas harga daging,
melalui kegiatan operasional :
1) Peningkatan
pengawasan dan pemantauan distribusi
daging impor
2) Pengendalian
distribusi daging impor berdasarkan kelengkapan fasilitas rantai dingin dari
importir sampai ke ritel.
IV.
ANALISIS
STRATEGI KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING
4.1.
Analisis
Lingkungan Internal
Analisis lingkungan
internal dilakukan untuk melihat potensi dalam pengembangan ternak sapi di Indonesia
dengan melihat berbagai sumber daya yang dimiliki secara komparatif atau
kompetitif untuk mencapai swasembada daging sapi. Pada anlaisis lingkungan
internal juga melakukan penganalisaan kelemahan-kelemahan yang akan menghambat
program pencapaian swasembada daging tersebut. Beberapa hal yang dapat
dianalisis dari lingkungan internal dalam mewujudkan program swasembada daging
sapi tahung 2014 sebagai berikut :
4.1.1.
Sumber
Daya Alam
Indonesia sebagai negara agraris sangat berpotensi
dalam pengmebangan pertanian termasuk sub sektor peternakan karena sumber daya
alamnya sangat mendukung sektor tersebut. Beberapa hal yang terkait dengan
sumber daya alam untuk pengembangan peternakan adalah: potensi iklim, suhu,
sumber pakan dan sumber air serta plasmanutfah sapi lokal yang sangat potensial
untuk dikembangkan.
Beberapa jenis ternak sapi lokal (plasmanutfah) yang
dapat berkembang dengan baik sesuai dengan keadaan iklim Indonesia yang tropis
adalah sapi bali yang banyak ditemui di wilayah timur yaitu di Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Di pulau jawa sapi lokal yang
mampu berkembang dengan baik adalah sapi PO, Grati dan sapi Madura. Sedangkan
di Pulau Sumatera sapi lokal yang dapat berkembang dengan baik adalah sapi Aceh
yang terdapat Provinsi Aceh dan Sapi Pesisir yang banyak dibudidayakan oleh
masyarakat pesisir Sumatera Barat dan pesisr Bengkulu. Sapi-sapi lokal Nasional
tersebut dapat tumbuh dan berkemabang dengan kondisi lingkungan tropis dan
dengan kondisi pakan yang kurang baik namun feed
per conception nya lebih tinggi dan daya tahan tubuhnya juga lebih baik
serta peranakannya yang juga lebih tinggi.
Disamping ternal lokal di Indonesia juga sangat baik
untuk dikekembangkan sapi-sapi komposit terutama dierah-daerah dataran tinggi
yang suhunya hampir sama dengan suhu asal sapi tersebut, beberapa spesies sapi
komposit yang dikembangkan adalah sapi Simental, Limosin, Brahman, Angus dan
Frestian Holand (FH), sapi-sapi tersebut juga disilangkan dengan sapi lokal
dalam rangka meningkatkan kulaitas sapi lokal. Dalam memuliakan kemurnian
genetic ternak sapi juga harus melindungi ternak lokal/plasmanutfah dengan
sistem konserfasi insitu.
Perkembangan populasi ternak sapi per
provinsi tahun 2007-2011
No
|
Provinsi
|
Tahun
|
Growth
|
||||
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
|||
1
|
Aceh
|
784,053
|
641,093
|
669,996
|
722,501
|
462,840
|
-35.94
|
2
|
Sumatera Utara
|
384,577
|
388,240
|
394,063
|
412,670
|
541,688
|
31.26
|
3
|
Sumatera Barat
|
450,823
|
469,859
|
492,272
|
513,255
|
327,013
|
-36.29
|
4
|
Riau
|
114,156
|
161,202
|
172,394
|
170,105
|
159,855
|
-6.03
|
5
|
Kepulauan Riau
|
7,627
|
7,893
|
8,323
|
8,693
|
17,338
|
99.45
|
6
|
Jambi
|
125,114
|
149,042
|
164,256
|
177,710
|
119,877
|
-32.54
|
7
|
Sumatera Selatan
|
451,102
|
336,295
|
342,412
|
347,873
|
246,295
|
-29.20
|
8
|
Kepulauan Bangka
Belitung
|
14,065
|
9,373
|
9,624
|
9,852
|
7,733
|
-21.51
|
9
|
Bengkulu
|
93,659
|
93,219
|
97,528
|
103,262
|
98,953
|
-4.17
|
10
|
Lampung
|
410,165
|
425,526
|
463,032
|
496,066
|
742,776
|
49.73
|
11
|
D.K.I. Jakarta
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1,691
|
-
|
12
|
Jawa Barat
|
272,264
|
295,554
|
309,609
|
327,750
|
422,980
|
29.06
|
13
|
Banten
|
54,887
|
60,680
|
73,515
|
69,727
|
46,900
|
-32.74
|
14
|
Jawa Tengah
|
1,416,464
|
1,442,033
|
1,525,250
|
1,554,458
|
1,937,550
|
24.64
|
15
|
D.I. Yogyakarta
|
257,836
|
269,927
|
283,043
|
290,949
|
375,843
|
29.18
|
16
|
Jawa Timur
|
2,705,605
|
3,384,902
|
3,458,948
|
3,745,453
|
4,727,353
|
26.22
|
17
|
Bali
|
633,789
|
668,065
|
675,419
|
683,800
|
637,473
|
-6.77
|
18
|
Nusa Tenggara Barat
|
507,836
|
546,114
|
592,875
|
695,951
|
685,810
|
-1.46
|
19
|
Nusa Tenggara Timur
|
555,383
|
573,461
|
577,552
|
600,923
|
778,238
|
29.51
|
20
|
Kalimantan Barat
|
166,800
|
168,053
|
175,019
|
176,734
|
153,320
|
-13.25
|
21
|
Kalimantan Tengah
|
67,465
|
69,152
|
68,022
|
75,098
|
54,648
|
-27.23
|
22
|
Kalimantan
Selatan
|
202,037
|
210,633
|
218,065
|
228,545
|
138,691
|
-39.32
|
23
|
Kalimantan Timur
|
81,746
|
90,028
|
101,176
|
108,321
|
90,748
|
-16.22
|
24
|
Sulawesi Utara
|
107,818
|
108,332
|
106,598
|
98,522
|
105,225
|
6.80
|
25
|
Gorontalo
|
213,831
|
227,690
|
240,659
|
253,411
|
183,868
|
-27.44
|
26
|
Sulawesi Tengah
|
197,794
|
203,893
|
210,535
|
211,769
|
230,682
|
8.93
|
27
|
Sulawesi Selatan
|
696,615
|
703,303
|
729,066
|
848,916
|
983,985
|
15.91
|
28
|
Sulawesi Barat
|
101,295
|
98,182
|
124,632
|
135,770
|
72,822
|
-46.36
|
29
|
Sulawesi Tenggara
|
227,265
|
237,360
|
253,171
|
268,138
|
213,736
|
-20.29
|
30
|
Maluku
|
75,458
|
74,654
|
79,162
|
83,943
|
73,976
|
-11.87
|
31
|
Maluku Utara
|
49,828
|
51,485
|
45,488
|
45,488
|
60,840
|
33.75
|
32
|
Papua
|
53,085
|
56,064
|
62,053
|
78,825
|
81,796
|
3.77
|
33
|
Papua Barat
|
34,429
|
35,297
|
36,081
|
37,093
|
41,464
|
11.78
|
Total
|
11,514,871
|
12,256,604
|
12,759,838
|
13,581,571
|
14,824,007
|
9.15
|
Sumber : Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan
Dari tabel diatas terlihat terjadi peningkatan
populasi sapi sebesar 6.5 % dari tahun ketahun. Populasi sapi terbesar terdapat
di Provinsi Jawa Timur 4,7 juta ekor, Jawa Tengah 1,9 juta ekor, Sulawesi
Selatan 983,9 ribu ekor, Nusa Tenggara Timur 778,2 ribu ekor, Nusa Tenggara
Barat 685,8 ribu ekor dan Bali 637,4 ribu ekor. Sebagian besar populasi sapi
terbesar di Pulau Jawa dan wilayah timur Indonesia, jika dikelompokan
berdasarkan pulau maka populasi terbesar di pulau Jawa sebesar 50,68 %, pulau
Sumatera 18,38 %, pulau Bali dan Nusra 14,8 %, pulau Sulawesi 12,08 %, pulau Kalimantan
2,9 % dan Pulau Maluku serta Papua 1,74 %. Pulau Sumatera dan Wilayah Timur
Indonesia masih mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan peternakan sapi
sedangkan pulau Jawa lahan sudah semakin sempit sehingga pengembangan ternak
semakin sulit dilakukan.
Pengembangan agribisnis peternakan sangat berkaitan
erat dengan pakan terutama hijauan bagi ternak sapi, 70 persen dari
keberhasilan agribisnis peternakan ditentukan oleh lingkungannya, yang paling
utama adalah pakan dan 30 persen adalah genetick. Sumber pakan ternak masih
sangat memungkinkan untuk dikembangkan baik dalam bentuk padang pengembalaaan (pasture/rance) terutama di papua, NTB
dan NTT. Pakan ternak juga dapat dengan memanfaatkan by produk pertanian
seperti jerami padi dan daun jagung melaui sistem integrasi ternak dengan
pertanian lainnya. Program pemerintah untuk mencapai swasembada padi dan jagung
tentu secara tidak langsung akan mendukung program swasembada daging sapi. Pada
prinsipnya ternak sapi dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan
sehingga akan tercipta pertanian tepadu atau dikenal dengan (zero waist). Selama ini penggunaan
jerami padi dan jagung belum optimal dimanfaatkan untuk pakan ternak, disamping
itu juga potensi lahan sawit yang besar. Integrasi ternak sapi dengan padi,
jagung dan sawit sangat memungkinkan untuk dikembangkan.
4.1.2.
Sumber
daya manusia
Sumber daya manusia
merupakan hal yang mendasar dalam pengembangan pertanian termasuk sub sektor
peternakan, sehingga pengembangan sumber daya dibidang peternakan menjadi
sangat perlu. Keunggulan dari sumber daya alam tidak akan mampu meningkatkan
daya saing pertanian Indonesia kalau sumberdaya manusianya rendah, sehingga
keunggulan komparatif akan menjadi keunggulan kompetitif jika didukung oleh
sumber daya yang handal. Berapa hal yang terkait dengan sumber daya manusis
pada sub sektor peternakan sebagai berikut:
1.
Sumber daya peternak
Sekitar 60 % penduduk
Indonesia berkerja sebagai petani termasuk peternkan, peternakan sapi potong
sebagain besar merupakan usaha sambilan dengan skala kepemilikan ternak sapi
1-3 ekor yang hanya sekedar untuk tabungan belum mencapai skala usaha. Usaha
peternakan sapi potong yang diusahakan secara intensive masih sangat sedikit hal
ini disebabkan oleh karena besarnya biaya investasi dibidang peternakan sapi
potong sehingga para petani tidak mampu untuk melakukan peternakan skala besar.
Pendidikan para peternak masih sangat rendah serta penyuluhan peternkan yang
masih belum optimal dilapangan.
Tabel 2. Tenaga kerja berdasarkan tingkat
pendidikan akhir sub sektor peternakan.
No
|
Pendidikan
Akhir
|
Tahun
|
|||
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
||
1
|
Tdk/blm pernah sekolah
|
612,217
|
620,374
|
741,599
|
624,929
|
2
|
Tidak Tamat SD
|
777,719
|
751,458
|
1,240,720
|
1,051,856
|
3
|
SD
|
1,582,666
|
1,786,925
|
1,423,124
|
1,524,210
|
4
|
SLTP
|
577,588
|
626,468
|
657,693
|
648,498
|
5
|
SMA
|
143,747
|
170,586
|
188,829
|
178,977
|
6
|
SMK
|
56,694
|
72,750
|
108,331
|
108,910
|
7
|
DIPLOMA I/II/III
|
13,806
|
9,470
|
14,718
|
10,733
|
8
|
UNIVERSITAS/DIV
|
5,620
|
6,148
|
11,151
|
19,781
|
Indonesia
|
3,770,057
|
4,044,179
|
4,386,165
|
4,167,894
|
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia.
Dari tabel 2 terlihat
bahwa sebagian besar para peternak dengan pendidikan terakhir adalah tamat
sekolah dasar mengalami peningkatan dari tahun 2009 sebesar 1,4 juta orang
menjadi 1,5 juta orang ini menunjukan pendidikan para peternak masih rendah
atau sekitar 37 % adalah tamat Sekolah Dasar, yang tamat Diploma dan Sarjana
hanya 0 %, sedangkan tidak tamat SD sekitar 25 %.
Pendidikan para
peternak masih sangat rendah hal ini juga akan berpengaruh terhadap
keterampilan beternak dan penerapan teknologi peternakan serta sangat
berpengaruh terhadap manajemen dan sistem peternakan di Indonesia yang masih
tradisional. Jika dilihat dari perkembangan jumlah peternak yang berpendidikan sarjana
mengalami peningkatan 43,6 % dibanding tahun 2008 dan 2009, sedangkan peternak
yang berpendidikan tamat Sekolah Dasar juga mengalami penurunan dari tahun
ketahun pada tahun 2010 mengalami penurunan 7 %.
2.
Tenaga Penyuluh
Keberhasilan
pembangunan pertanian tidak terlepas dari peran penyuluh sebagai tenaga tingkat
lapangan yang menyampaikan informasi teknologi dan manajemen pertanian atau
peternkan kepada masyarakat. Tenaga penyuluh menjadi ujung tombak dalam
menjalankan program pemerintah untuk pemberdayaan petani di pedesaan. Tenaga
penyuluh pertanian masih sangat kurang walaupun sudah ada penyuluh Tenaga
Harian Lepas (THL) semenjak tahun 2007 namun belum dapat menjangkau para petani
secara keseluruhan. Disamping jumlahnya yang masih sedikit, penyuluh pertanian
dituntut untuk mengetahui semua sub sektor pertanian atau disebut dengan
penyuluh “poli palen” sehingga ilmu yang dimiliki oleh penyuluh tidak mendalam
pada suatu bidang yang berdampak pada lambantnya penyampaian informasi
teknologi baru kepada petani.
3.
Tenaga medik veteriner
Tenaga medic dan
veteriner adalah tenga yang bertanggung jawab terhadap reproduksi dan kesehatan
hewan. Tenaga medic biasanya adalah dokter hewan dan sarjana peternakan bidang
reproduksi ternak. Tenaga para medic masih sangat sedikit sehingga tidak dapat
memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada para peternak.
4.
Lembaga Pelatihan dan Pendidikan
Sumber daya manusia
menjadi hal yang sangat penting dalam pembangunan peternakan, dalam mendukung
pembangunan peternakan adalah dengan adanya lembaga pelatihan bidang peternakan
yang ada dibeberapa daerah dan adanya perguruan tinggi yang memiliki fakultas
peternakan yang tersebar disetiap daerah. Merupakan kekutan dalam pengembangan
peternkan di Indonesia yang memiliki pengetahuan.
5.
Lembaga penelitian
Lemabga penelitian akan
menghasilkan inovasi-inovasi tekonologi pengembangan peternakan baik dalam
bidang budidaya, pengolahan dan pemasaran dalam mewujudkan peternakan yang
berdaya saing dan kpmpetitif. Lembaga penelitian dan pemgembangan pertanian merupakan
lembaga yang telah lama dikembangkan, untuk melakukan penelitian dalam bidang
peternakan adalah Balai Penelitian dan Pengembangan Peternkan di Bogor.
Disamping itu juga ada lembga-lembaga penelitian litbang pertanian yang
bertempat di Daerah-daerah untuk mendukung percepatan penelitian-penelitian
tentang potensi spesifik didaerah tersebut.
4.1.3.
Sumber
daya buatan
Disamping sumber daya
alam dan sumber daya manusia, sumber daya buatan juga menjadi faktor penting
dalam mendukung pencapaian program swasembada daging sapi. Hal yang termasuk
sumber daya buatan adalah sarana dan prasarana pendukung seperti sarana
trasportasi, sarana labor pembibitan, dan lapangan pengebalaan.
4.2.
Analisis
Lingkungan Eksternal
4.2.1.
Globalisasi
perdagangan
Pemasaran produk
pertanian semakin terbuka dengan diterapkannya perdagangan bebas (free trade area) dalam
perjanjian-perjanjian di WTO (Word Trade
Organitation). Tantangan lain adalah dengan dibukanya kran pemasaran antara
Indonesia dengan Cina bahkan dimasa yang akan datang akan dibuka kran
perdagangan perdagangan bebas negara-nega asesan atau AFTA (Asean Free Trade Area). Dengan
terbukanya pasar dunia akan berpengaruh terhadap pemasaran domestic,
implikasinya adalah interfensi pemerintah akan berkurang terkait dengan
kebijakan interfensi produk dalam negeri dari serangan produk impor terutama
terkait dengan tariff bea masuk.
Globlisasi perdagangan
merupakan peluang dan sekaligus ancaman bagi
perkembangan pertanian Indonesia termasuk sub sector peternakan, akan
menjadi peluang kerena akan terbukanya pasar ekspor produk-produk pertnian dan
peternakan. Dengan penduduk mayoritas muslim, negara-negara Timur Tengan
sebenarnya sangat mengharapkan produk peternakan dari Indonesia. Namun sampai
saat ini kondisi itu belum terwujud karena Indonesia masih fokus untuk
kebutuhan dalam negeri yang masih impor. Perdagangan global tentu akan menjadi
ancaman ketika produk dalam negeri tidak memiliki daya saing dibandingkan
dengan produk impor. Produk dalam negeri akan semakin tersingkir pada akhirnya
akan berdampak terhadap pendapatan petani semakin berkurang dan akan berimbas
pada tingkat daya saing bangsa di dunia.
Tabel 3. Neraca ekspor-impor produk
peternakan
NO
|
KOMODITI
|
TAHUN
|
||
2009
|
2010
|
2011*)
|
||
EKSPOR
|
754,912,832
|
951,661,900
|
1,088,284,383
|
|
1.
|
TERNAK
|
40,473,278
|
50,554,481
|
42,179,813
|
2.
|
HASIL TERNAK/LIVESTOCK PRODUCT
|
440,615,217
|
585,117,577
|
781,155,377
|
3.
|
PRODUK NON PANGAN HEWANI
|
125,741,593
|
129,496,149
|
100,662,785
|
4.
|
OBAT HEWAN
|
4,704,648
|
5,346,775
|
12,025,932
|
5.
|
LAIN – LAIN
|
143,378,096
|
181,146,918
|
152,260,476
|
IMPOR
|
2,132,800,161
|
2,768,339,096
|
1,981,741,382
|
|
1.
|
TERNAK
|
430,612,472
|
450,478,663
|
204,614,194
|
2.
|
HASIL TERNAK/LIVESTOCK PRODUCT
|
1,284,628,151
|
1,723,325,607
|
1,246,960,302
|
3.
|
PRODUK NON PANGAN HEWANI
|
293,483,094
|
436,459,152
|
393,164,901
|
4.
|
OBAT HEWAN
|
41,731,023
|
46,465,313
|
30,611,856
|
5.
|
LAIN – LAIN
|
82,345,421
|
111,610,361
|
106,390,129
|
TOTAL (EKSPOR - IMPOR)
|
-1,377,887,329
|
-1,816,677,196
|
-893,456,999
|
Sumber : Ditjen Peternakan dan kesehatan
hewan
Dari tabel diatas
terlihat neraca perdagangan produk peternakan masih negative, ini menunjukan Indonesia masih negara net impor
produk-produk peternakan. Ketergantungan terhadap impor peternakan tidak hanya
pada hasil ternak saja namun juga tergantung terhadap input produksi seperti
pakan dan obat-obatan. Kondisis ini kalau berlangsung lama akan sangat
membahayakan terhadap kemandirian peternakan dalam negeri.
Indonesia dengan jumlah
penduduk mencapai 240 juta jiwa dan diperkirakan mencapai 300 juta jiwa tahun
2025 merupakan potensi pasar besar yang tidak akan disia-siakan oleh
negara-negara lain untuk memasarkan produknya baik produk pertanian dan
manufactur. Peningkatan daya saing melalui perbaikan mutu, peningkatan produktivitas,
memperkuat kebijakan barieer non tariff
menjadi agenda pennting bagi seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan
agribisnis bidang peternakan.
4.2.2.
Globalisasi
industri
Perlu disadari, secara
tidak langsung perdangan bebas telah membuka globalisasi industri baik melaui
FDI (Foregein Direc Invesment) hal
ini telah mendorong semakin banyaknya berdiri PMA (Perusahaan Milik Asing) yang
mempunyai standard atau SOP (Standar
Operasional Prosedur) yang ketat, sehingga produk perternakan dalam negeri
sangat sulit untuk menembus pasar tersebut. Untuk memenuhi pasokan bahan baku
Industri tersebut dipenuhi dari produk-produk peternakan impor yang sesuai
dengan standar perusahaannya. Disamping industri pengolahan, juga tumbuhnya
pasar-pasar modern, seperti supermarket dan
hypermarket namun pasar tersebut
masih mengandalkan produk-produk pertanian impor sedangkan produk lokal
sebagian kecil saja yang memenuhi standar untuk bersaing dipasar tersebut,
sehingga produk pertanian dalam negeri hanya memenuhi pasar tradisional.
Fenomena diatas menjadi
tantangan bagi arah pembangunan pertanian termasuk sub sector peternakan
kedepan. Persaingan pasar produk pertanian semakin ketat, preferensi konsumen
terus berubah untuk mengkonsumsi makanan yang aman, sehat dan diketahu asal
usulnya (triasibility), tidak hanya
itu konsumen telah memberikan grade-grade tertentu terhadap produk pertanian
atau konsumen tidak melihat suatu produk itu secara utuh namun telah menilai
bagian-bagian dari produk tersebut. Mungkin petani menjual sapinya dalam bentuk
hidup, namun setelah sampai si pasar para pedagang akan memisahkan
potongan-potongan tertentu dengan harga yang berbeda dari masing-masing bagian
tersebut.
Industri pengolahan dan
pasar modern tidak membutuhkan ternak secara untuh tapi membutuhkan
bagian-bagian tertentu dari produk yang dibutuhkannya, seperti industri
pengolahan daging akan membutuhkan daging CL 80 dan CL 90, restoran dan rumah
makan mungkin akan membutuhkan daging-daging murni seperti sir, sir loin, reb
aye dan lain-lain. Kondisis tersebut menjadi tantantangan bagi produk
peternakan untuk mampu bersaing memenuhi permintaan pasar industri, supermarket
dan restoran. Perbaikan pola rantai pasok produk peternakan perlu diperbaiki
atau lebih dikenal dengan suplly chain management.
Perbaikan supply chain management dapat dilakukan dengan menjadikan Rumah
Pemotongan Hewan sebagai pusat pemasok daging yang aman dan memenuhi standar
(tawaf. R, 2012).
4.2.3.
Peningkatan
jumlah penduduk dan konsumsi protein
Pertumbuhan jumlah
penduduk Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya bahkan pada tahun 2012
sudah mencapai 241 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk juga akan berpengaruh
terdap permintaan pangan salah satunya daging sapi. Disamping peningkatan
jumlah penduduk pendapatan perkapita dan pendidikan juga mengalami peningkatan
sehingga menyebabkan peningkatan terhadap konsumsi protein, salah satu bahan
pangan sumber protein adalah daging sapi, sehingga permintaan terhadap daging
sapi akan tetap bertambah. Pertambahan jumlah permintaan terhadap daging sapi
harus diikuti oleh ketersediaan daging sapi lokal, kalau tersediaan daging
lokal tidak ada atau tidak sesuai dengan permintaan konsumen, akan menyebabkan
timbulnya impor daging sapi. Konsumsi perkapita daging sapi setiap tahunnya
mengalami peningkatan.
Tabel 4. Data
perkembangan konsumsi daging di Indonesia
Tahun
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Jumlah
Konsumsi(kg/kapita)
|
0.313
|
0,417
|
0,365
|
0,313
|
0,365
|
Pendapatan perkapita
dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi tinggi, telah
berdampak terhadap peningkatan konsumsi protein salah satunya yang berasal dari
daging sapi. Jumlah penduduk yang besar dan peningkatan pendapatan akan menjadi
peluang sekaligus menjadi tantangan bagi pengembangan agribisnis peternakan
sapi potong dalamnegeri. Menjadi peluang karena terbukanya pasar domestic yang
besar namum akan menjadi tantangan jika produksi peternakan dalam negeri tidak
berdaya saing, karena Jumlah penduduk Indonesia akan menjadi pasar yang besar
pula bagi banyak negara maju.
V.
EVALUASI
KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI 2014
Berdasarkan analisis lingkungan internal dan
eksternal pengembangan agribisnis sapi potong dalam negeri, dapat dilakukan pengambilan
kesimpulan kebijakan untuk pengembangan sapi ptong dalam negeri dalam rangka
mewujudkan swasembada daging sapi pada tahun 2014. Untuk memudahkan melihat
kesimpulan kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan agribisnis sapi ptong
untuk mewujudkan swasembada daging sapi 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Data SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity dan Treaht)
FAKTOR INTERNAL
|
FAKTOR EKSTERNAL
|
KEKUATAN
1.
Iklim
dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak
2.
Plasma
nutfah sapi lokal yang potensial
3.
Sumber
daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan
nak-bun).
4.
Mayoritas
penduduk sebagai petani/ peternak
5.
Pengalaman
dan motivasi beternak tinggi
6.
Banyak
Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan
7.
Terdapat
lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan
|
PELUANG
1. Dukungan kebiajan pemerintah untuk pengembangan
ternak sapi potong
2. Potensi pasar yang besar baik domestic mapun ekspor
3. Perkembangan ilmu dan teknologi
4. Pendapatan perkapita semakin meningkat
5. Populasi ternak masih sangat memungkin untuk dikembangkan
6. Industri peternakan dan pangan berbahan baku daging
sapi semaikin berkembang
7. Preferensi konsumen yang mulai berubah untuk
mengkonsumsi olahan hasil peternakan
|
KELEMAHAN
1.
Genetika
sapi lokal belum baik
2.
Tingkat
pendidikan peternak masih rendah
3.
Skala
kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional
4.
Kelembagaan
peternak tidak kuat
5.
Sulit
untuk mengakses lembaga pembiayaan
6.
Sarana
dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)
7.
Wilayah
Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal
pendistribusian sapi dari daerah produsen ke konsumen.
8.
Pasar
yang belum mendukung
9.
Kebijakan
pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri
berbasis agro (agrobisnis).
|
ANCAMAN
1. Globalisasi Perdagangan dan industri
2. Peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi
3. Perkembangan ilmu dan teknologi
4. Berkembangnya isu keamanan pangan dan treasibility
5. Berkembangnya isu suplly chain management
|
Dari penyempurnaan dalam bentuk tabel
diatas akan memudahkan untuk membaca faktor-faktor yang terkait dengan kekutan,
kelemahan, peluang dan ancaman pengembangan peternakan sapi potong untuk
mencapai swasembada daging 2014. Selanjutnya dilakukan dengan memasukan faktor
tersebut tersebut kedalam tabel perengkingan terkait lingkungan internal dan
ekternal. Dari tabel perengkingan akan teridentifikasi faktor mana yang dominan
pada kekuatan dan ancaman untuk mewujudkan pembangunan peternakan sapi potong
dan swasembada daging sapi.
Tabel 6.
Perengkingan kekuatan pada Faktor Lingkungan Internal
No
|
Kekuatan (S)
|
S1
|
S2
|
S3
|
S4
|
S5
|
S6
|
S7
|
Total
|
|
1.
|
S1
:
|
Iklim
dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak
|
x
|
x
|
x
|
0
|
0
|
0
|
3
|
|
2.
|
S2
:
|
Plasma
nutfah sapi lokal yang potensial
|
x
|
x
|
0
|
0
|
0
|
2
|
||
3.
|
S3
:
|
Sumber
daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan
nak-bun).
|
x
|
x
|
0
|
0
|
2
|
|||
4.
|
S4
:
|
Mayoritas
penduduk sebagai petani/ peternak
|
x
|
x
|
x
|
3
|
||||
5.
|
S5
:
|
Pengalaman
dan motivasi beternak tinggi
|
x
|
x
|
2
|
|||||
6.
|
S6
:
|
Banyak
Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan
|
x
|
1
|
||||||
7.
|
S7
:
|
Terdapat
lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan
|
0
|
|||||||
Vertikal
0 (kosong)
Horizontal
x
Total
|
||||||||||
0
|
0
|
0
|
2
|
2
|
3
|
3
|
||||
3
|
2
|
2
|
3
|
2
|
1
|
0
|
||||
3
|
2
|
2
|
5
|
4
|
4
|
3
|
||||
Rangking/ urutan
|
III
|
IV
|
IV
|
I
|
II
|
II
|
III
|
Kesimpulan : Rangking untuk peluang
I :
Mayoritas penduduku sebagai petani/peternak
II : - Pengalaman dan motivasi beternak
tinggi
- Banyak perguruan tinggi yang
mempunyai Fakultas/Jurusan Peternakan
III : - Iklim dan topografi sangat mendukung
untuk pengembangan ternak
- Terdapat lembaga penelitian dan pelatihan
peternkaan
IV : - Plasma sapi lokal yang potensial
- Sumber pakan yang cukup tersedian
dan integratid farming system.
Dari tabel
perengkingan faktor lingkungan internal dapat dilihat bahwa faktor internal yang
paling kuat adalah sebagian besar penuduk Indonesia sebagai petani/peternak,
berikutnya penglaman dan motivasi beternak cukup timnggi, didukung oleh
banyaknya perguruan tinggi yang memiliki fakultas peternakan untuk mendorong
percepatan pengembangan dan penyuluhan peternakan, iklim dan topografi sangat
mendukung untuk pengembangan ternak dan terdapatnya lemabag penelitian dan
pelatihan untuk mendukung pencitaan teknologi dan penerapannya bagi peternak,
serta terdapatnya plasma nutfah sapi lokal yang dapat dikembangkan dan
pengembangan integrasi sapi dengan
tanaman pangan atau perkebunan. Untuk merumuskan kebijakan atau program
pengembangan peternakan sapi potong kedepan maka faktor-faktor diatas menjadi
penting untuk di perhatikan.
Setelah faktor internal dapat
diraking maka selanjutnya perlu perangkingan untuk ancaman-ancaman yang
ditimbulkan oleh lingkungan eksternal. Adapun perangkingan dari Faktor
Eksternal dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 7. Tabel perangkingan ancaman pada
lingkungan eksternal
No
|
Ancaman (T)
|
T1
|
T2
|
T3
|
T4
|
T5
|
T6
|
T7
|
T8
|
T9
|
Total
|
|
1.
|
T1
:
|
Genetika
sapi lokal belum baik
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
x
|
1
|
|
2.
|
T2 :
|
Tingkat
pendidikan peternak masih rendah
|
x
|
x
|
x
|
x
|
0
|
x
|
x
|
6
|
||
3.
|
T3 :
|
Skala
kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional
|
x
|
x
|
x
|
0
|
x
|
x
|
5
|
|||
4.
|
T4 :
|
Kelembagaan
peternak tidak kuat
|
x
|
0
|
0
|
x
|
x
|
3
|
||||
5.
|
T5 :
|
Sulit
untuk mengakses lembaga pembiayaan
|
0
|
0
|
0
|
x
|
1
|
|||||
6.
|
T6 :
|
Sarana
dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)
|
x
|
x
|
x
|
3
|
||||||
7.
|
T7 :
|
Wilayah
Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal
pendistribusian sapi dari daerah produsen ke konsumen.
|
0
|
x
|
1
|
|||||||
8.
|
T8 :
|
Pasar
yang belum mendukung
|
x
|
1
|
||||||||
9.
|
T9 :
|
Kebijakan
pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri
berbasis agro (agrobisnis).
|
0
|
|||||||||
Vertikal 0 (kosong)
Horizontal x
Total
|
||||||||||||
0
|
1
|
1
|
1
|
1
|
3
|
5
|
3
|
0
|
||||
1
|
6
|
5
|
3
|
1
|
3
|
1
|
1
|
0
|
||||
1
|
7
|
6
|
4
|
2
|
6
|
6
|
4
|
0
|
||||
Rangking/
urutan
|
V
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
II
|
II
|
III
|
VI
|
Kesimpulan : Rangking untuk ancaman
I
: Tingkat pendidikan peternak masih rendah
II : -
Skala kepemilikan ternak masih kecil dan bersifat tradisional
- Sarana dan prasana belum mendukung
(RPH dan saran pendistribusian)
- Wilayah kepulauan menyulitkan dalam
pendistribusian ternak
III : -
Kelembagaan peternak tidak kuat
- Pasar yang belum mendukug
IV : Sulit untuk mengakses lembaga
pembiayaan
V : Genetik ternak lokal belum baik
VI : Kebijakan pembangunan nasional
belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung
industri berbasis agro.
Dari hasil perengkingan faktor
eksternal maka didapatkan bahwa pendidikan peternak masih sangat rendah yang
berimplikasi terhadap skala kepemilikan ternak masih kecil dan bersifat
tradisional, kelmbagaan peternak belum kuat yang juga berdampak kepada sulitnya
para peternak untuk mengakses lembaga pembiayaan karena dinilai tidak bankable dan feasible oleh lembaga pembiayaan. Disamping itu sarana dan parasana
pendukung seperti Rumah Pemotongan Hewan dan saran transporatasi dalam rangka
mewujudkan rantai nilai dan rantai dingin belum memadai bahkan cenderung belum
ada. Manjemen trasportasi ternak dan daging menjadi penting untuk
pendistribusian ternak atau daging yang efisien dari daerah produsen ke daerah
konsumen terlebih dengan wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan.
Kelemahan-kelmahan diatas merupakan dampak dari kebijakan nasional yang belum
sepenuhnya bermuara pada pengembangan ekonomi nasional yang berpijak kepada
sector pertanian (agribisnis). Bahkan kebijakan pertanian terkesan parsial
karena tidak terintegrasinya kebijakan pembangunan pertanian dengan sektor
industri.
Setelah perangkingan dari kekuatan
dan ancaman lingkungan internal dan
eksternal langkah selanjutnya adalah penilian pada faktor internal dan faktor
eksternal dengan menggunakan matrik IFAS (Internal
Faktor Analisis Sumary) dan matrik EFAS (Eksternal Faktor Analisis Sumary). Dari bobot penilaian tersebut
akan dapat dilihat pada posisi kuadran manakah posisi agribisnis peternakan
sapi potong saat ini dengan melihat pada kuadran analisis SWOT.
Dalam matrik IFAS dan EFAS akan
dilakukan pembobotan sesuai dengan sejauh mana kepentingan dari faktor terhadap
pengembangan agribisnis peternakan sapi potong secara objectif, hasil dari
penjumlahan pembobotan kekuatan dan kelemahan adalah 1 (satu). Setelah pembobotan
dilakukan selanjutnya adalah memberikan rangking bagi setiap faktor mulai dari
rating 1 - 4, dan antara bobot dan rakong dari masing-masing faktor dikalikan
maka itulah nilai dari faktor-faktor tersebut. Penilaian pada faktor internal
dan eksternal dapat dilihat pada matrik berikut:
Tabel 6. Matrik IFAS (Internal Factor Analisis Summary)
Faktor Internal
|
Bobot
|
Rangking
|
Nilai
|
KEKUATAN
1.
Iklim
dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak
2.
Plasma
nutfah sapi lokal yang potensial
3.
Sumber
daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan
nak-bun).
4.
Mayoritas
penduduk sebagai petani/ peternak
5.
Pengalaman
dan motivasi beternak tinggi
6.
Banyak
Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan
7.
Terdapat
lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan
|
0,05
0,05
0,10
0,10
0,10
0,05
0,10
|
2
3
3
4
2
3
3
|
0,10
0,15
0,30
0,40
0,20
0,15
0,30
|
Sub
Total
|
0,55
|
1,60
|
|
KELEMAHAN
1.
Genetika
sapi lokal belum baik
2.
Tingkat
pendidikan peternak masih rendah
3.
Skala
kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional
4.
Kelembagaan
peternak tidak kuat
5.
Sulit
untuk mengakses lembaga pembiayaan
6.
Sarana
dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)
7.
Wilayah
Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal pendistribusian
sapi dari daerah produsen ke konsumen.
8.
Pasar
yang belum mendukung
9.
Kebijakan
pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri
berbasis agro (agrobisnis).
|
0,05
0,15
0,05
0,05
0.02
0,03
0.05
0,02
0,03
|
-2
-4
-3
-3
-3
-2
-3
-3
-2
|
-0,10
-0,60
-0,15
-015
-0,06
-0,06
-0,15
-0,06
-0,06
|
Sub
Total
|
0,45
|
-1,39
|
|
TOTAL
|
1,00
|
0,21
|
Setelah dilakukan pembobotan dan
perengkingan dengan matrik IFAS maka akan didapatkan sub total adalah 1. Nilai
dari kekuatan adalah 1,60 dan nilai kelemahan adalah 1,39. Selanjutnya adalah
menganalisis pembobotan dan perengkingan faktor eksternal dengan menggunakan
matrik IFAS sebagai berikut :
Tabel 7.
Matrik EFAS (Eksternal Faktor Analisis
Summry)
Faktor Internal
|
Bobot
|
Rangking
|
Nilai
|
PELUANG
3. Dukungan kebiajan pemerintah untuk pengembangan
ternak sapi potong
4. Potensi pasar yang besar baik domestic mapun ekspor
5. Perkembangan ilmu dan teknologi
6. Pendapatan perkapita semakin meningkat
7. Populasi ternak masih sangat memungkin untuk
dikembangkan
8. Industri peternakan dan pangan berbahan baku daging
sapi semaikin berkembang
9. Preferensi konsumen yang mulai berubah untuk
mengkonsumsi olahan hasil peternakan
|
0,10
0,10
0,05
0,10
0,05
0,10
0,05
|
4
4
3
3
2
3
3
|
0,40
0,40
0,15
0,30
0,10
0,30
0,15
|
Sub
Total
|
0,55
|
1,80
|
|
ANCAMAN
6. Globalisasi Perdagangan dan industri
7.
Peningkatan
jumlah penduduk dan konsumsi
8.
Perkembangan
ilmu dan teknologi
9.
Berkembangnya
isu keamanan pangan dan treasibility
10. Berkembangnya isu suplly chain management
|
0,15
0,10
0,05
0,05
0,10
|
-3
-3
-2
-3
-3
|
-0,45
-0,30
-0,10
-0,15
-0,30
|
Sub
Total
|
0,45
|
-1,30
|
|
TOTAL
|
1,00
|
0,50
|
Dari matrik EFAS dapat dilihat total
bobot adalah 1 yang merupakan penjumlahan dari 0,55 sub total peluang dan 0,45
ancaman. Nilai dari peluang adalah 1,80 dan nilai dari ancaman adalah 1,30.
Jadi dari matrik menggambarkan peluang perusahaan lebih besar dari ancamannya.
Selanjutnya hasil dimasukan kedalam tabel posisi kuadran.
IFAS
|
EFAS
|
||
KEKUTAN
|
1,60
|
PELUANG
|
1,80
|
KELEMAHAN
|
-1,39
|
ANCAMAN
|
-1,30
|
RESULTAN
|
0,21
|
RESULTAN
|
0,50
|
Dari tabel diatas langkah selanjutnya adalah memasukkan kedalam kuadran
0,21 dan 0,50. Dari kuadran akan terlihat sebenarnya dimana posisi agribisnis
peternakan sapi potong saat ini. Menurut
rangkuti (2006) dapat dijelaskan sebgai berikut :
Kuadran 1 : Ini merupakan
situasi yang sangat menguntungkan. organisasi memiliki kekuatan dan peluang sehingga dapat memanfaatkan peluang
yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung
pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy).
Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, organisasi ini
masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan
adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan
strategi diversifikasi.
Kuadran 3 : Organisasi
memiliki peluang pasar yang sangat besar, tetapi menghadapi kelemahan internal.
Strategi yang harus difokuskan oleh organisasi adalah dengan meminimalkan
kelemahan internal untuk merebut peluang sebesar-besarnya.
Kuadran 4 : Ini merupakan situasi
yag sangat tidak menguntungkan, organisasi menghadapi berbagai ancaman dari
luar dan juga kelemahan internal
Dari kuadran diatas terlihat bahwa posisi agribisnis peternakan
sapi potong berada pada kuadran I. Ini berarti kondisi agribisnis peternakan
sapi potong memiliki kekuatan wlaupun masih sangat rendah berada pada titik
0,21 dan 0,50 namun memiliki peluang yang besar untuk mengatasi kelemahan dan
ancaman dalam pengembangan agribisnis sapi potong kedepan. Maka strategi yang
harus diciptakan adalah strategi pertumbuhan yang agresif (Growth Oriented
Strategy) dan competitive advantive.
Langkah selanjutnya
adalah dengan melakukan analisa SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kebijakan kedepan.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan
peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman
(Rangkuti, 2006).
Tabel .
Matrik SWOT
IFAS
EFAS
|
Kekuatan (S)
1.
Iklim
dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak
2.
Plasma
nutfah sapi lokal yang potensial
3.
Sumber
daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan
nak-bun).
4.
Mayoritas
penduduk sebagai petani/ peternak
5.
Pengalaman
dan motivasi beternak tinggi
6.
Banyak
Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan
7.
Terdapat
lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan
|
Kelemahan (W)
1.
Genetika
sapi lokal belum baik
2.
Tingkat
pendidikan peternak masih rendah
3.
Skala
kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional
4.
Kelembagaan
peternak tidak kuat
5.
Sulit
untuk mengakses lembaga pembiayaan
6.
Sarana
dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)
7.
Wilayah
Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal
pendistribusian sapi dari daerah produsen ke konsumen.
8.
Pasar
yang belum mendukung
9.
Kebijakan
pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri
berbasis agro (agrobisnis).
|
Peluang (O)
1. Dukungan kebiajan pemerintah untuk
pengembangan ternak sapi potong
2. Potensi pasar yang besar baik
domestic mapun ekspor
3. Perkembangan ilmu dan teknologi
4. Pendapatan perkapita semakin
meningkat
5. Populasi ternak masih sangat
memungkin untuk dikembangkan
6. Industri peternakan dan pangan
berbahan baku daging sapi semaikin berkembang
7. Preferensi konsumen yang mulai
berubah untuk mengkonsumsi olahan hasil peternakan
|
Competitif
Advantage strategi
1.
Sangat
diperlukan pengembangan bibit ternak lokal melalui pemuliaan dan perbaikan
genetik untuk penciptaan breed ternak
sapi lokal yang unggul sesui dengan kondisi iklim Indonesia melaui
penelitian.
2.
Perlu
peningkatan penelitian terhadap pakan alternative dengan pemanfaatan by
produk pertanian
3.
Perlu
untuk membangun industri pakan ternak sapi potong berbasis bahan baku by
produk pertanian
4.
Peningkatan
pengetahuan para peternak dan penguatan kelembagaan melalui media penyuluhan
dan memfasilitasi peternak ke lembaga pembiayaan
5.
Peningktatan
peran perguruan tinggi dan lemabga penelitian untuk menciptakan hasil
penelitian yang tepat guna dan melakukan pengabdian kepada masyarakat
peternak
6.
Perlu
kebijakan peternakan yang terintegrasi antara hulu dan hilir dalam rangka
penciptaan agroindustri yang berbasis bahan baku lokal
|
Strategi (W-O)
1.
Peningkatan
genetic ternak lokal
2.
Peningkatan
keterampilan peternak dan peningkatan jumlah peternak terdidik
3.
Pengembangan
saran distribusi ternak baik melaui moda trasportasi darat, laut dan udara.
4.
Menjadikan
RPH sebagai lembaga bisnis yang selama ini hanya sebagai penerima jasa serta
dapat menjalin kemitraan dengan peternak kecil sekaligus mealkukan pembinaan.
5.
Perbaikan
sistem pemasaran ternak melalui kemitraan dengan RPH atau industri pengolahan
daging.
|
Ancaman (T)
1.
Globalisasi
Perdagangan dan industri
2.
Peningkatan
jumlah penduduk dan konsumsi
3.
Perkembangan
ilmu dan teknologi
4.
Berkembangnya
isu keamanan pangan dan treasibility
5.
Berkembangnya
isu suplly chain management
|
Strategi (S-T)
1.
Meningkatkan
daya saing produk peternakan dalam negeri dengan memperbaiki manajemen sistem
peternakan dan penerapan teknologi tepat guna.
2.
Perkuat
kebijakan barier non tariff dengan penetapan kuota impor dan perketat
pemasukan produk halal serta memperlakukan kebijakan sertifikasi halal bagi
produk pangan dalam negeri.
3.
Perbaikan
sistem distribusis teranak hidudp dan daging sapi dengan perbaikan supply
chain manajemen.
4.
Menjadikan
globalisasi perdagangan dan industri sebagai peluang untuk pemasaran produk
peternakan nasional.
|
Strategi (W-T)
1.
Perlu
kebijakan nasional dalam pengembangan agribisnis yang terintegrasi antara
kegitan on farm dengan off farm (hulu dan hilir)
2.
Kebijakan
pembangunan agribisnis peternakan harus berkarakter ke-Indonesiaan yang
berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila.
|
Dari matrik anlisa SWOT diatas
menurut pendapat penulis beberapa kesimpulan berkaitan dengan kebijakan dalam
mendorong pertumbuhan agribisnis sapi potong yang berkelanjutan dan berdaya
saing di pasar global adalah sebagai berikut :
1. Perlu
meningkatkan penelitian berkaitan dengan pemuliaan ternak lokal untuk perbaikan
genetik dalam rangka mencari bibit ternak sapi unggul dengan produktivitas
tinggi pada kondisi iklim Indonesia yang tropis. Sehingga diharapkan ada breed ternak unggul asli Indonesia yang
merupakan hasil persilangan dari ternak-ternak lokal.
2. Konserfasi
plasmanutfah ternak lokal secara insitu untuk mempertahankan kemurnian
genetiknya.
3. Memaksimalkan
UPT pembibitan sebagai penyupply ternak unggul kepada para peternak dan mengembangkan UPT sebagai agar dapat menjadi tempat diseminasi teknologi sistem peternakan integrasi dengan sektor lainnya yang menjadi karakter peternakan di Indonesia yang dapat diterapkan oleh peternak. Selanjutnya
mengembangkan pusat-pusat pembibitan baru serta Balai Inseminasi Buatan didaerah-daerah sentra produksi yang potensial.
4. Membangun
unit-unit pengolahan pakan ternak berbasis by
produk (limbah) pertanian di daerah sentra produksi yang dibangun pemerintah atau perusahaan daerah. Misalnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dll dengan pemanfaatan jerami padi dan jagung dalam
pembuatan hay atau silo, atau pemanfaatan limbah perkebunan yang kemudian didistribusikan kepada para peternak
dengan harga yang terjangkau (bersubsidi) untuk menjamin kelangsungan
peternakan rakyat.
5. Pembangunan
pusat-pusat kesehatan hewan di daerah produksi untuk memudahkan pelayanan
kesehatan hewan dan veteriner serta kawin suntik, dll.
6. Perlu
regulasi tentang perbibitan dalam hal pendistribusian semen beku dalam bentuk straw kepada para peternak berkaitan
dengan harga dan sistemnya.
7. Perbaikan
sumber irigasi untuk mendukung penyediaan air bagi ternak, karena kebutuhan air
secara adlibitum sangat diperlkan
oleh ternak.
8. Peningkatan
fungsi penyuluhan berkaitan dengan manajemen pakan, reproduksi dan pemasaran
serta manajemen kelembagaan peternak melaui pendampingan tenaga yang profesional.
9. Membangun
RPH berstandar di sentra-sentra produksi dan menjadikan lembaga
tersebut sebagai lembaga bisnis yang dikelola oleh Perusda (Perusahaan Daerah)
atau BUMN dibawa kendali badan penyangga pangan. Keberadaan RPH tersebut adalah menjalin
kemitraan secara backward linked
dengan peternak dan forward linked
dengan pelaku pasar serta industri pengolahan dan RPH juga berfungsi sebagai
penyedia stock daging nasional.
10. Perlu
kebijakan agar industri pengolahan daging dalam negeri untuk menjalin kemitraan dengan para peternak sambil mengurangi ketergantungan terhadap impor.
11. Perbaikan supply chan manjemen ternak dan daging
sapi melalui rantai dingin dan rantai nilai untuk menjamin ketersediaan daging
baik untuk pasar tradisional, supermarket dan industri pengolahan yang ASUH
(Aman, Sehat, Utuh dan Halal) dengan menjadikan RPH sebabagai pusat pendistrubiusian
daging sapi.
12. Perlu
kebijakan pengeluaran dan pemasukan ternak serta kebijakan traportasi ternak
yang bebas dari pungutan liar dan permasalahan pendistribusian lainnya.
13. Perlu
menerapkan subsidi hilir misalnya bagi pendistribusian ternak sehingga harga daging ditingkat
konsumen tetap terjangkau tampa menurunkan harga ternak ditingkat petani.
14. Pemberian
akses pembiayaan tampa bunga kepada petani dengan memanfaatkan lembaga
pembiayaan yang berbasis kerjasama dan investasi dan resiko ditanggung oleh
pemerintah.
15. Perlu
kebijakan pembentukan pilot project
didaerah sentra dengan menerapkan sistem-sitem diatas yang terintegrasi antara
kegiatan on farm dan off farm dan kemudahan dukungan
pembiayaan. Daerah yang ditetapkan sebagai piloct project harus menadapat
support yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah sehingga program tersebut
dapat tumbuh dan berkembang.
VI.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Dari uraian analisis strategi kebijakan
dalam mewujudkan swasembada daging sapi tahun 2014, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan
pendapatan perkapita dan kepedulian masyarakat untuk mengonsumsi panga bergizi
tinggi, mutlak mendorong bangsa Indonesia untuk melakukan swasembada daging dalam
rangka menjaga ketahanan pangan untuk kebutuhan protein hewani.
2.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar,
sekitar 240 juta merupakan potensi yang sangat besar sebagai peluang pasar dan
tenaga kerja untuk pembangunan peternkan dalam negeri. Namun potensi tersebut
akan menjadi tatangan jika potensi kompratif yang dimiliki didalam negeri tidak
dijadikan keunggulan kompetitif dalam perdagangan global, yang pada akhirnya
Indonesia menjadi pasar besar bagi produk-produk pangan impor termasuk
peternakan.
3.
Jika dilihat dari kuadran analisa SWOT,
posis agribisnis peternakan sapi potong dalam negeri berada pada kuadran ke I
yang bearti pada posisi competitive advative, berate agribisnis peternakan sapi
potong mempunyai peluang untuk dikembangkan dengan menggunakan program
pertumbuhan, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi yang ada dan memperbaiki
seluruh subsitem terkait yang mendukung program pengembangan peternakan untuk
mewujudkan peternakan yang berbasis teknologi dan kerakyatan.
Saran dari analisis strategi kebijakan untuk
mewujudkan swasembada daging sapi tahun 2014 adalah :
1.
Perlu untuk mengoptimalkan UPT Pembibitan
ternak unggul baik yang dikelola pemerintah pusat maupun daerah untuk mensupply
bibit sapi unggul kepada peternak.
2.
Pembangunan unit pengolahan pakan ternak
dengan memanfaatkan limbah pertanian didaerah sentra produksi.
3.
Pembangunan dan perbaikan sarana irigasi
untuk pengairan pertanian dan peternakan.
4.
Optimalisasi penyuluhan penerapan
teknologi tepat guna dan penguatan kelembagaan gapoknak dalam memrpoduksi dan
memasarkan ternak,
5.
Perbaikan efesiensi pemasaran ternak
dengan menjadikan RPH sebagai pusat distribusi daging dan menjalin kemitraan
bersama para peternak/gapoknak.
6.
Dukungan pembiyaan dengan memberkan
kemudahan pengajuan permodalan kepada peternak.
DAFTAR
PUSTAKA
Daryanto. A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri
Peternakan. IPB Press. Bogor
Herdiawan. D. 2012. Ketahanan Pangan dan
Radikalisme. Repblika. Jakarta
Jafar. H.M. 2009. Membangun Pertanian Sejahtera,
Demokratis dan Berkelanjutan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Kharoen. H. 2012. Politik Ekonomi Pangan Menggapai
Kemandirian Mewukudkan Kesejahteraan. Cidesindo. Jakarta.
Krisnamurti, Azumardi, dkk. 2009. Revitalisasi
Pertanian dan Dialog Peradaban. Kompas. Jakarta
Kuncoro. M. 2009. Ekonomika Industri Indonesia.
Penerbit Andi. Yogyakarta.
Nainggolan.K. 2008. Melawan Kemiskinan dan Kelaparan
Abad ke-21, Kekal Prees. Jakarta
Statistik Peternakan 2012 Ditjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan
3 komentar:
salam, pak henri saya tertarik dengan analisa ini, izin baca dan save, bisa kita diskusi soal program pengadan sapi, saya ingin spesifik di jawtim,. trima ksih, salam
Walaikumsalam Pak Ali, InsyaAlah saya besedia saya juga sangat senang berdiskusi masalah pertanian. salam kenal.
Walaikumsalam Pak Ali, InsyaAllah saya besedia saya juga sangat senang berdiskusi masalah pertanian. salam kenal.
Posting Komentar