I.
Pendahuluan
Dalam
menjalankan usahanya manusia akan selalu berhubungan dengan kelomopok atau
individu lain untuk mendukung kesuksesan usaha tersebut. Manusia sebagai mahluk
sosial tidak akan bisa berusaha sendiri tanpa melibatkan orang lain, dengan
sifat dasar manusia hidup bermasyarakat dan berhubungan dengan yang lain dalam
kehidupan sehari-hari, baik untuk berhubungan ekonomi maupun kegiatan sosial
lainnya (bermuamalah) sehingga
timbullah kerjasama antara satu individu dengan individu lain atau satu
komunitas dengan komunitas lain untuk membuat perjanjian atau kesepakatan-kesapakatan
kerjasama dalam bidang bisnis (syirkah).
Tidak terlepas
dari hal tersebut kerjasama dalam usaha pertanian sudah berkembang sejak lama, karena
kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang mendasar bagi masyarakat dalam hal
untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sektor pertanian mulanya memang hanya sebagai
sektor produksi saja terutama untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga,
namun seiring dengan berkembangnya sektor industri, kebutuhan akan produk
pertanian menjadi sangat penting sebagai bahan baku indudustri tersebut. Produk
pertanian tidak hanya sebagai bahan pangan (food)
saja tapi telah berkembang kedalam berbagai kebutuhan seperti bahan
obat-obatan, kosmetika, pakan ternak (feed)
dan sumber energy terbarukan (biofule).
Terjadinya
transformasi sector budidaya pertanian ke sector indudustri pengolahan,
menyebakan sector tersebut tumbuh dan berkembang dengan pesat terutama di
pedesaan yang merupakan sumber penghasil produk pertanian. Seiring dengan
perkembangan sector pertanian juga diikuti dengan berkembangan kegiatan ekonomi
atau bisnis bidang pertanian tersebut dan telah menimbulakan banyak
kerjasama-kerjasama bisnis atau kemitraan dalam usaha pertanian (contrac farming).
Kerjasama usaha
pertanian pada prinsipnya adalah dalam upaya mewujudkan bisnis yang berkeadilan
dan saling menguntungkan antara petani sebagai produsen dengan industri sebagai
pemakai/ konsumen. Banyak bentuk-bentuk kerjasama usaha pertanian yang
berkembang berikut dengan keunggulan dan kelemahannya. Tidak terlepas dari hal
tersebut Islam juga mengatur bagaimana system kerjasama bisnis yang berkeadilan
dan saling menguntungkan tersebut. Juga tidak salah kiranya prinsip-prinsik
kerjasama sesuai syari’ah berkembang dengan baik mengingat Indonesia sebagai
negara agraris dan sebagian besar penduduknya beragama Islam. Dalam Islam, pertanian merupakan
subsistem dari Sistem Ekonomi Islam. Hasil-hasil pertanian digunakan untuk
memenuhi hajatun ‘udhawiyah (kebutuhan fisik) manusia seperti makanan
dan minuman, serta kebutuhan asasi individual yakni pakaian dan perumahan.
Sebagai contoh dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, Indonesia saat ini
membutuhkan bahan pangan pokok tidak kurang dari 53 juta ton beras, 12,5 juta
ton jagung dan 3,0 juta ton kedelai. Belum lagi berbagai produk olahan yang
menunjang kenyamanan hidup manusia, seperti obat-obatan, kosmetika, kerajinan,
dan sebagainya.
Salah satu sector pertanian untuk kebutuhan pangan sebagai
sumber protein hewani adalah peternakan. Pada awalnya manusia hidup berburu untuk
mendapatkan pangan hewani, namun setelah terjadi penjinakan (demostikasi) terhadap hewan-hewan liar
tersebut berkembanglah kegiatan beternak sampai sekarang yang telah didukung
oleh teknologi. Peternakan ayam pedaging merupakan sector peternakan yang menarik
dan menguntungkan bagi peternak berkembang dengan pesat terutama dengan system
kemitraan. Berdasarkah hal tersebut akan dijelaskan beberapa
system kerjasama usaha (kemitraan) peternkan ayam pedaging antara peternak
dengan perusahaan peternakan yang berkembang saat ini.
II.
Sistem
Kemitraan/ Kerjasama dalam Peternkan Ayam Pedaging
Urgensi
kemitraan dalam usaha pertanian diwujudkan dengan lahirnya Undang-undang No. 9
tahun 1995 tentang usaha kecil, serta peraturan Pemerintah No.44 tahun 1997
tentang kemitraan. Kemitraan usaha (partnership)
didefenisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau
usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat,
dan saling menguntungkan. SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman
Kemitraan Usaha Pertanian, pasal 2 menyebutkan : “bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian adalah untuk meningkatkan
pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan sumberdaya kelompok mitra, dan
peningkatan skala usah, dalam rangka menumbuhkan dan peningkatkan kemampuan
kelompok mitra yang mandiri”.
Dalam berbagai
model kemitraan yang dikembangkan di Indonesia, selalu melibatkan dua hal,
yaitu adanya hubungan dagang dan hubungan pembinaan atau bimibingan teknis,
manajemen, bantuan permodalan, dan pemasaran hasil. Ada beberapa model
kemitraan yang berkemabang seperti : Model inti plasma, model system pertanian
kontrak, model sub kontrak, model dagang umum, model vendor, model keagenan,
dan model kerjasama operasional agribisnsi (KOA).
Kerjasama atau
kemitraan pada peternkan ayam pedaging secara umum yang sering diterapkan
dimasyarakat adalah model inti plasma. Model ini merupakan hubungan kemitraan
antara usaha (UK) dengan usaha menengah atau besar, dimana usaha menengah (UM)
atau usaha besar (UB) bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma.
Perusahaan inti berkewajiban melakukan pembinaan mengenai teknis produksi agar
diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Pembinaan juga dilakukan untuk
meningkatkan kualitas meningkatkan manajemen kelompok plasma. Sebagai
tindaklanjut Keppres No. 50 tahun 1981 maka dikeluarkan kebijakan pemerintah
PIR Perunggasan (1984), yang dalam operasionalisasinya diperkenalkan dalam tiga
sistem :
1. Sistem
Upah
Kerjasama
peternakan ayam pedaging dengan system ini adalah, peternak mendapatkan upah dari
perusahaan mitra yang memodali usaha peternakan yang dilakukannya. Secara
operasional system ini yaitu, peternak dalam hal ini harus sudah memiliki
kandang yang sudah lengkap dengan peralatan lainnya serta juga tenaga pengelola.
Sedangkan perusahaan inti akan menyediakan input produksi seperti bibit (DOC),
pakan, obat-obatan dan menjamin pemasaran. Dalam usaha ini peternak hanya
mendapatka upah dari usahanya, biasanya peternak mendapatkan upah sebesar
Rp.1000/ ekor.
Keuntungan bagi
peternak dalam usaha ini adalah, peternak tidak ikut menanggung resiko gagal
panen ataupun harga jual ternak rendah, peternak tetap mendapatkan upah sesuai
kontrak kerja, sedangkan kerugian bagi peternak adalah tidak ikut mendaptkan
keuntungan harga tinggi. Bagi perusahaan keuntungannya adalah dapat membantu
memperluas jaringan perusahaan, apabila harga tinggi maka keuntungan sebagian
besar dinikmati perusahaan, sedangkan kerugian bagi perusahaan adalah harus
tetap membayar upah kepada peternak walaupun harga anjlok dipasaran dan
disamping itu peternak tidak termotifasi memelihara ayam dengan baik sehingga
seringkali produksi tidak mencapai target yang ditetapkan.
Sistem upah pada
awalnya sangat diminati oleh para peternak karena resikonya lebih rendah.
Seperti yang diketahui peternakan ayam pedaging mempunyai resiko yang besar.
Namun akhir-akhir ini system upah sudah mulai ditinggalkan peternak karena
keuntungan sudah dipatok perusahaan.
2. Sistem
Kontrak
Kemitraan atau
kerjasama dalam bentuk kontrak adalah kerjasama antara peternak sebagai plasma
menjalin kerjasama dengan perusahaan perunggasan (inti) yang mana dari awal
kegiatan bisnis dilakuan kontrak harga ayam per satuan Kg. Harga kontrak
ditetapkan setelah dikeluarkan semua biaya-biaya produksi. Adapun kewajiban
dari pihak inti adalah : 1) Menyediakan bibit ayam (DOC) dengan kualitas
standar, 2) Menyediakan pakan (feed)
produksi perusahaan inti, 3) Menyediakan vaksin dan obat-obatan, 4) Menyediakan
input-input lainnya seperti bahan pemanas (gas atau batu bara), 5) Melakukan
bimbingan dan pengawasan melalui tenaga teknisi dan supervisor,dan 6) Menampung
dan memasarkan seluruh hasil produksi. Sedangkan plasma berkewajiban : 1) Menyediakan
kandang dan lahan dengan kapasitas 4.000-6.000 ekor, 2) Menyediakan tenaga
kerja baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga luar keluarga (hired labor), 3) Menyediakan bahan
bakar, sekam, listrik, dan air bersih, 4) Menjamin atau menjaga keamanan usaha
ternaknya, 5) Setelah panen diharapkan mencapai standar tertentu (Feed Conversion Ratio/FCR) kurang dari
bobot boiler, semakin kecil FCR semakin baik, dan mortalitas kurang dari atau
sama dengan 5 %), dan 6) Menjual seluruh hasil produksi broiler keperusahaan
inti, ditetapkan atau disepakati sebelum DOC masuk kandang.
Beberapa kriteria dalam melakukan
seleksi peternak calon mitra (plasma) antara lain adalah :
1.
Bersikap jujur, dapat dipercaya dan
memegang komitmen dengan baik
2.
Ada rekomendasi dari tokoh masayrakat
atau tokoh peternak setempat
3.
Memiliki pengalaman minimal 2 tahun
4.
Bersedia melakukan usaha budidaya sesuai
anjuran perusahaan inti melalui teknisi lapangan
5.
Beberapa inti mensyaratkan adanya agunan
terutama berupa sertifikat tanah
6.
Lolos dari uji kelayakan (fesibility
study) terutama didasarkan atas kondisi fisik kandang, ketersediaan air bersih,
aksessibilitas baik, dan tidak berimpit dengan pemukiman penduduk.
Pelaksanaan dari
kemitraan sisten kontrak ini mempunyai kelebiahan dan kekurangan bagi peternak.
Kelebihannya yaitu input produksi sudah disediakan perusahaan inti dan
sekaligus memebeli produk sesuai harga kontrak, harga tetap walaupun terjadi
penurunan harga, biasanya peternak mendapatkan keuntungan Rp. 3000-4.000/kg, sedangkan
kelemahannya adalah apabila harga pasar jauh lebih tinggi dari harga kontrak petani
tidak dapat menikamti harga tersebut, namun ada beberapa perusahan menerapan kebijakan
menaikan harga 30 % dari harga pasar. Kerugian dari system ini adalah peternak
tidak mendapatkan keuntungan pada saat harga pasar tinggi dan resiko ditanggung
sendiri oleh peternak.
3. Sistem
Manajemem Fee
Sistem manajemen
fee adalah kerjasama kemitraan yang mana plasma menyediakan sarana dan prasaran
berupa lahan/ kandang beserta perlengkapannya, sarana pendukung (air, listrik
dll) serta tenaga kerja baik keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga.
Sedangkan pihak inti akan menyediakan input produksi berupa bibit ayam (DOC),
pakan, obat-obatan dan pihak inti akan membeli hasil dari peternakan tersebut.
Harga pembelian kepada peternak sesuai dengan harga pasar. Keuntungan oleh
peternak dengan system ini adalah harga yang tergantung harga pasar jika harga
pasar tinggi maka peternak akan mendapatka keuntungan yang besar, namun
manakala harga turun maka peternak akan mengalami kerugian, serta peternak
menanggung sendiri resiko dari kemungkinan gagal panen atau hal lain yang tak
diinginkan.
III.
Tinjauan
Syari’ah dalam Kerjasama Bisnis (Syirkah)
Islam sebagai
agama yang menyeluruh (sumul) dan
komprehensif telah memberikan batasan-batasan dan aturan kepada manusia dalam
melakukan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari (muamalah) karena fitrahnya sebagai
mahluk sosial. Dalam hal kegiatan ekonomi misalnya juga tidak luput dari system
isalam itu sendiri yang dikenal dengan sistem syari’ah untuk melakukan kerjasama bisnis yang diistilahkan dengan
“syirkah”.
Sistem
kerja sama bagi hasil merupakan sistim dimana dilakukannya perjanjian atau
ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut
diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara
kedua belah pihak atau lebih. Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua
belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan
adanya kerelaan di masing-masing pihak
tanpa adanya unsur paksaan. Bentuk kesepakatan kerjasama “syirkah” secara umum
dibedakan atas dua yaitu:
1.
Mudharabah dimana pengelola kerjasama bisnis bagi hasil antara dua pihak
atau lebih yang mana pihak pertama mempunyai modal 100 % sedangkan pihak lain
hanya bermodaklan skill saja. Hasil usaha dibagi secara adil sesuai perjanjian
dari awal.
2.
Musyarakah dimana pengelola
dan pemodal ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya. Kedua
bela pihak sama-sama mempunyai modal dan skill. Hasil usaha dibagi secara adil
sesuai kesepakatan bersama.
Namun dalam
sumber-sumber lain dijelaskan, syirkah dalam fiqih Islam ada beberapa macam: di
antaranya yang kembali kepada perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada
kepemilikan. Dari sisi hukumnya menurut syariat, ada yang disepakati boleh, ada
juga yang masih diperselisihkan hukumnya. Defenisi Syirkah dalam bahasa Arabnya
berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara
dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada. Sementara dalam
terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil
hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut
Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul
Uqud (Syirkah Transaksional).
Macam-macam
Syirkah Transaksional
Syirkah
transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi beberapa bagian berikut:
1.
Syirkatul "Inan.
Yakni persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu
kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama
untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan
bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka
bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah semacam ini
berdasarkan ijma" dibolehkan berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat
(An-Nabhani, 1990: 148). namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan.
Jadi merupakan persukutan dalam modal, usaha dan keuntungan. Hukum Syirkatul
diperbolehkan berdasarkan ijma, kalaupun ada perbedaan hanya dalam beberapa
bentuk rincian dan satuannya.
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B
sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya
sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang
(nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh
dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah
al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal.
Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung
kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa
Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya
modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak
yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
Rukun-rukun Syirkatul 'Inan ada tiga: pertama:
Dua transaktor. Keduanya harus memiliki kompetensi, yakni akil baligh dan mampu
membuat pilihan. Boleh saja beraliansi dengan non muslim dengan catatan pihak
non muslim itu tidak boleh mengurus modal sendirian, karena dikhawatirkan akan
memasuki lubang-lubang bisnis yang diha-ramkan. Kalau segala aktivitas non
muslim itu selalu dipantau oleh pihak muslim, tidak menjadi masalah.
Yang patut diingatkan pada kesempatan ini adalah bahwa beraliansi dalam bisnis dan berinteraksi seringkali melahirkan ke-akraban dan cinta kasih yang terkadang menyebabkan -dalam aliansi muslim dengan kafir- lemahnya pemahaman al-Wala (loyalitas) dan al-Bara" (antipati). Hal itu merupakan salah satu lubang bencana.
Yang patut diingatkan pada kesempatan ini adalah bahwa beraliansi dalam bisnis dan berinteraksi seringkali melahirkan ke-akraban dan cinta kasih yang terkadang menyebabkan -dalam aliansi muslim dengan kafir- lemahnya pemahaman al-Wala (loyalitas) dan al-Bara" (antipati). Hal itu merupakan salah satu lubang bencana.
Maka seorang muslim terus meninggikan nilai keyakinan-nya dan
bekerja agar andilnya dalam kerja sama itu menjadi pintu dakwah mengajak ke
jalan Allah, dengan kenyataan dirinya seba-gai muslim yang jujur dan amanah
dalam pandangan pihak kafir, demikian juga dengan sikapnya yang selalu menepati
janji dan komitmen bersama.
Kedua: Objek
Transaksi. Objek transaksi ini meliputi modal, usaha dan keuntungan. Pertama:
Modal. Disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:
1. Harus
diketahui tapi kalau tidak diketahui jumlahnya dan hanya spekulatif, tidaklah
sah. Karena modal itu akan menjadi rujukan ketika kerjasama dibubarkan. Dan tidak
mungkin dilakukan kerjasama tanpa mengetahui jumlah modal.
2. Hendaknya
modal itu riil. Yakni ada pada saat transaksi pembelian karena dengan itulah
kerjasama bisa terlaksana, sehingga eksistensinya dibutuhkan. Kalau saat
transaksi tidak ada, maka transaksi dianggap batal.
3. Tidak
merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba.
Karena dalam hal ini orang yang berhutang bisa tertuduh menangguhkan pembayaran
hutangnya agar bertambah nilainya. Atau orang yang memberi hutang tertu-duh
telah mengorbankan diri menuntut orang yang berhutang untuk menambah jumlah
hutangnya karena telah dikembangkan.
Pencampuran modal dan kesamaan jumlahnya bukan merupakan
syarat sahnya bentuk syirkah ini. Akan tetapi garansi terhadap modal yang
hangus hanya bisa dilakukan dalam aliansi ini dengan adanya pencampuran harta
secara hakiki atau secara justifikatif. Caranya, masing-masing melepaskan modal
dari pe-ngelola dan tanggungjawabnya secara pribadi untuk dimasukkan dalam
pengelolaan dan tanggung jawab bersama.
Dan tidak disyaratkan bahwa kedua harta tersebut harus sama
jenisnya, sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab Hanafiyah dan Hambaliyah.
Misalnya salah satu pihak meng-operasikan modalnya dalam bentuk dolar dan pihak
lain dalam bentuk Rupiah. Ketika hendak dipisahkan, kedua modal itu dihi-tung
dengan dua cara berbeda:
1. Kalau
dalam mengelola bisnis mereka menggunakan kedua jenis mata uang tersebut secara
bersamaan, masing-masing membawa pulang uangnya baru kemudian keuntungan yang
ada dibagi dua.
2. Kalau
mereka hanya menggunakan satu jenis mata uang dalam beroperasi, sementara
masing-masing modal sudah ditukar dengan mata uang tersebut, maka dengan dasar
itu juga modal mereka telah dipisahkan dan penilaiannya didasari oleh mata uang
tersebut menurut nilai tukarnya pada hari transaksi.
Kedua: Usaha. Adapun berhubungan dengan
usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya
para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka. Kalau orang
yang mengelola modal orang saja bebas mengope-rasikan hartanya, apalagi bisnis
patner dalam syirkah ini. Karena mengelola modal orang lain hanya merupakan
syirkahpraktis, bukan syirkah substansial. Sementara dalam kasus ini yang
terjadi adalah syirkah praktis dan sekaligus substansial secara bersamaan.
Masing-masing pihak yang beraliansi bisa menyerahkan usaha
itu kepada yang lain, namun itu dijadikan syarat pada awal transaksi menurut
pendapat ulama yang paling benar. Karena hak untuk mengoperasikan harta
dimiliki oleh mereka berdua. Namun masing-masing pihak juga bisa mengundurkan
diri dari haknya tersebut untuk diberikan kepada pihak lain, lalu menyerahkan
operasionalnya kepada orang tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.
Ketiga:
Keuntungan. Sehubungan dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai
berikut:
1. Harus
diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak dike-tahui, syirkah tersebut
dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata
yang membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh
dilakukan.
2. Harus
merupakan sejumlah keuntungan dengan prosen-tasi tertentu. Kalau berupa nilai
uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan bahwa
aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak
bisa dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.
Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra
usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal.
Karena keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh
usaha. Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih
dari yang lain, se-hingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu
adalah pen-dapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hambaliyah.
Rukun ketiga: Pelafalan akad/perjanjian. Perjanjian dapat
terlaksana dengan adanya indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan
dan tindakan, berdasarkan kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah
pengertian dan hakikat sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya
saja.
2.
Syirkatul Abdan (syirkah usaha).
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa
konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran
(seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan
tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani,
1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67;
Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat
melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan
dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60%
dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau
keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri
dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan
yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh
berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan
(celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya
boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah
(An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku
pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai
harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan,
sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud
dan al-Atsram). Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan
beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
3.
Syirkatul Wujuh.
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam
(Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut
syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian
(wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua
pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal),
dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam
hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah
mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau
lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari
masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang
dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat,
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki;
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase
barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh
kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena
bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua
termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah
jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan
(wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah
mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah
syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang
besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan
keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa
saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial
(tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam
urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
4.
Syirkatul Mufawadhah.
Yakni setiap kerjasama di mana masing-masing pihak yang
beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai
berjalannya kerja sama hingga akhir. Yakni kerja sama yang mengandung unsur
penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang. Kerja sama ini
juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh Syafi"i.
Kemungkinan yang ditolak oleh Imam Syafi"i adalah bentuk aplikasi lain
dari Syirkatul Mufawadhah, yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk
bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau
karena sebab lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung
oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau
ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung
mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika
berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan
C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal,
untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan
C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan,
yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan
konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti
di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai
pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa
masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud
syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
5. Syirkah
Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan
pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah
mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh
(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib
al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang
bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum
(misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah.
Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal,
sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua,
pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus,
sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa
konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah
(An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan
dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat
(An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf
hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut
campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemodal.
IV.
Kesimpulan
dan Saran
Adapun kesimpulan
dari uraian diatas adalah, system kemitraan usaha ayam pedaging dengan pola
inti plasma kalau dibandingkan dengan system bagi hasil sesuai syariah lebih
dekat pada system musyrakah karena masing-masing pihak mengeluarkan modal usaha
walaupun modalnya bukan berbentuk uang tapi berbentuk barang/ benda. Namun
dalam hal bagi hasil system kemitraan inti plasma tidak mencirikan system
musyarakah karena tidak jelasnya bagi hasil antara inti dengan plasma, bahkan
dalam hal resiko lebih banyak diterma oleh peternak. Dari hal tersebut terlihat
ketimpangan dari system kemitraan yang berkembang saat ini pada peternakan ayam
pedaging, inti mendapatkan untung yang besar dengan resiko kecil sedangkan
keuntungan plasma sangat kecil dan dengan resiko yang besar.
Saran dari pola
system kerjasama kemitraan peternakan ayam pedaging ini, perlu kiranya untuk
mengkaji kembali system kemitraan ayam pedaging yang adil dan saling
menguntungkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan prinsip syari’ah,
sehingga kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.
Sumber
:
1. Alsofwah.or.id
2. Daryanto
A. 2009. Bunga Rampai Pemasaran Agribisnis, IPB Press. Bogor
3. ……………,2010.
Dinamika dan Daya Saing Indudstri Peternakan, IPB Press. Bogor
4. Chapra
U, 2007. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, GIP. Jakarta
5. Muamalah.com
6. Qardawi
Y, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam (Hukum, Perekonomian, Perempuan),
Era Intermedia. Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar